Senin, 02 Januari 2017

Dream In My Life

Banyak manusia yang ingin dirinya selalu merasakan kesuksesan, tapi kenyataannya mereka hanya berbicara tanpa melakukannya. Aku putri. Hidup yang selalu bergantungan dengan mimpi. Selalu berkhayal untuk memiliki kehidupan sesuai keinginan. Tapi kenyataannya Tuhan berbeda pendapat dengan apa yang aku impikan.
11 Januari 2005, mata kananku diangkat oleh dokter karena tertusuk oleh gunting. Kelihatan memang seperti bunuh diri. Sangat tidak logis dan tidak dapat diterima dengan akal sehat. Inilah kejadianku, aku memiliki adik berusia 1 tahun. Tidak tahu menahu tentang barang tajam atau tumpul. Ia sedang memainkan gunting tersebut, bodohnya aku, aku justru menggendongnya tanpa mengambil gunting tersebut.
Dengan perasaan geram seorang balita, tanpa sengaja ia menusuk gunting itu tepat di mataku. Darah mulai menetes, spontan ibu menjerit dan singkat waktu ia membawaku ke rumah sakit. Kata dokter “bila tidak dioperasi, mata kanan akan membusuk dan menular ke mata kirinya”. Dengan berat hati, aku harus mengikhlaskan mata kananku. Alhasil, wajahku tampak seram dan tak seindah sebelumnya.
Cita-citaku yang semula sangat menginginkan untuk menjadi seorang POLWAN (polisi wanita) akhirnya aku batalkan. Keadaan pun kian memburuk, ketika mengetahui semua tidak lagi baik. Hidup dengan mata satu sudah mulai aku jalani. Meski terkadang harus menahan malu dari reaksi buruk pandangan mereka. Mimpi itu sudah lama mati. Aku tidak tahu tujuan dari hidup ini apa, dan untuk apa. Semua hilang begitu saja, tanpa punya tujuan sedikit pun. Nilai menjadi anjlok drastis. Dimarahi ibu, dimaki ayah itu sudah menjadi makanan sehari hariku. Mereka tidak mengerti apa yang aku rasakan. Hingga suatu ketika, 23 Febuari 2006 aku pergi dari rumah. Berjalan tidak menentu arah, dan berhenti di salah satu jembatan. Memikirkan nasib keputusasaan. Dan inilah akhirnya, satu melangkah menaiki besi jembatan, dan langkah kedua… “srreeet..” seorang dari belakang berusaha menggagalkan bunuh diri yang kulakukan.
“lepaskan!! Lepaskan!!!” aku berteriak sekencang mungkin dan berusaha menendangnya dari arah berlakang. “kamu gila ya”, dia mendekapku. Menatap mataku. Tanpa sadar, air mataku jatuh di tangannya. Yah.. hanya satu air mata di mata kiri. “apa yang kamu lakukan tadi” tanyanya.
“untuk apa aku hidup lagi. Aku tidak bisa hidup dengan mata satu. Siapa yang akan mempekerjakan aku nanti. Bahkan untuk menjadi seorang polwan saja sudah tidak bisa!” Dia melepaskan tangannya dari kedua lenganku. Lalu pergi ke motornya dan mengambil sesuatu dari jok motornya. “nah… tenanglah sebentar” dia memberikanku air mineral. Aku menerima dan meminum seteguk. Duduk seketika. Kami sama-sama diam dengan waktu yang cukup lama.
“mari aku antar pulang” ajaknya.
Aku pun mengangguk.
Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Sampai di depan rumah, orang-orang sudah berkumpul. Sangat tidak wajar, malam masih banyak orang yang belum tidur. “put, kemana aja kamu? Ayahmu meninggal!” kata salah satu tetanggaku. Aku berlari masuk rumah. Ibu terduduk lemas di samping ayah. Matanya sudah berlumuran air mata. Ayah meninggal secara tiba-tiba. Itu pasti karena penyakit jantung ayah. “mengapa aku tidak mati saja tadi. Biarkan saja aku mati agar aku bisa bersama ayah!” ucapku. Ibu langsung menatap mataku tajam. Spontan berdiri, dan seketika menampar wajahku keras di depan orang banyak. “kamu pikir dengan bunuh diri kamu bisa bertemu dengan ayah! Salah besar kamu bodoh! Anak kurang ajar! Tidak tahu berterimakasih langsung kabur dari rumah! Pergi kamu sana!” ia membentakku, emosinya tak terkontrol.
“ibu…” aku langsung berlutut dan meminta maaf, tamparan itu… tamparan itu menjadi sebuah nasihat untukku. Yang kulakukan semua adalah salah. Bahkan dosa besar. Ibu tak kuasa menahan tangis, ia pun memelukku.
Keesokan harinya…
Ayah sudah dimakamkan tadi setelah sholat dzuhur. Duka itu masih membekas. Aku berharap semua akan baik baik saja setelah ini. Beberapa bulan kemudian… aku harus bisa bangkit. Sekarang ibu yang bekerja keras untuk menafkahiku dan adik kecilku. Di teras rumah, ibu datang dan duduk di sampingku.
“put.. apa kamu mau menuruti keinginan ibu, nak” seketika ibu angkat bicara
Aku langsung membalikan tubuhku ke depan menghadap ibu “apa itu bu?” tanyaku dengan penasaran.
“jangan mudah menyerah ya, nak. Lakukanlah yang terbaik untuk ibu!” air matanya jatuh. “bu, ibu kok nangis?”
“ibu takut, kamu melakukan hal yang sama jika kamu frustasi seperti dulu, nak”
Aku diam. Mencoba mengingat hal bodoh yang pernah aku lakukan. “ibu tenang ya. Putri janji kok, putri gak kan ngelakuin yang dulu dulu lagi, bu.” Aku tersenyum. Ibu mengelus pipiku. Sekarang saatnya aku membuat mimpi-mimpi baru. Jika aku gagal, aku harus berusaha kembali.
18 Juni 2008, aku lulus SMA. Aku mendapatkan ranking 1 di kelas dan juara umum di sekolah. Aku pun pulang dengan semangat. Usahaku kali ini berhasil. Mimpi pertama “mendapat ranking”, mimpi ke 2 “tampil sebagai siswa berprestasi” dihari ini aku berhasil mewujudkan 2 mimpi sekaligus.
“bu… assalamualaikum” ketika membuka pintu, darah sudah berserakkan. Jantungku mulai berdetak lebih kencang. Aku langsung mengikuti jejak seretan darah itu. Dan darah itu … darah itu milik ibu yang sedang memeluk adikku.
“aaaaaaaaa” aku menjerit sekuat batin ku. “bu… bangun bu… ibuuuu… dek, dek… bangun dek. Kakak pulang. Kakak bawa mainan loh, dek…” tangisku pecah, tangan pun mulai gemetar ketika mengusap darah di tubuh ibu dan adik. Tak berapa lama salah satu tetanggaku datang “put.. astaghfirullah.. ada apa ini” aku tidak menjawab. “sebentar… bunde telepon suami bunde ya put ya” aku mengangguk. Kebetulan suami bunde seorang polisi.
Polisi pun segera menangani kasus kematian tragis ini. Rasanya pikiran bunuh diri itu kembali datang lagi. Tapi aku berusaha untuk melupakan kejadian itu. Ayah meninggal dengan mendadak, ibu mati dibunuh, begitupun dengan adik. Lalu aku tinggal dengan siapa?
“put… tinggal sama uwak ya nak ya” uwak (kakak ibu) mengejutkanku. Aku pun mengangguk.. lega rasanya, ternyata masih ada orang yang peduli denganku.
Tak berapa lama, ia membawaku ke tanggerang, tempat tinggal aslinya. Aku pun tetap meneruskan mimpi-mimpiku kembali. Target kali ini lulus di universitas tenama dan mendapatkan beasiswa.
14 September 2009. Aku diterima di salah satu Universitas ternama UI (Universitas Indonesia), dengan jurusan Teknik informatika. Memang mendapatkan yang terbaik adalah hal sangat sulit. Tapi aku tidak menyerah. Aku selalu bangkit ketika teringat dengan pesan ibu “jangan menyerah!” butuh waktu yang lama memang. Tapi pada akhirnya aku berhasil menyelesaikan S1 di Universitas ini. Setelah acara wisuda selesai, dosen pembimbingku tiba tiba memanggilku
“ini put” ia memberikan seberkas map
“apa ini ya pak?” tanyaku dengan senyuman. Aku pun membukanya dengan hati-hati dan mulai membaca isi kertas tersebut. Tertulis “atas nama Putri Brawijaya mendapatkan beasiswa di Australia dengan jurusan TEKNIK INFORMATIKA”. Masih mengambang rasanya. Antara percaya atau tidak. Ini memang masih sebuah mimpi. Usahaku kali ini juga berhasil. Aku melompat-lompat kegirangan dan memeluk uwakku.
“terimakasih pak” kataku sembari bersalaman.
Aku pun pulang ke rumah untuk mempersiapkan diri, yah walaupun perginya sekitar 11 bulan yang akan datang. Aku pulang bersama uwak mengendarai motor. Sampai selintasan tekongan, tak terduga aku oleng dan terjadi tabrakan, kakiku terjepit di mobil, sedangkan uwak terhempas. Ketika itu polisi sedang berlalu lalang, kami langsung dibawa ke rumah sakit. Dari kejadian ini, hanya aku yang mengalami luka terberat. Kata dokter kaki kiriku tidak bisa berfungsi lagi dan harus diamputasi. Tidak habis-habisnya cobaan itu datang untukku. Setelah selesai operasi, aku kembali mengingat kejadian 5 tahun yang lalu. Tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Siapa yang akan mempekerjakan aku nanti? Aku sudah cacat. Untuk apa aku memiliki titel sarjana tapi kondisiku mengenaskan seperti ini. Mata buta! Kaki amputansi! Jelas sekali hidup ini sudah tidak berarti apa-apa!
Malam hari…
Ketika semua terlelap tidur. Aku berusaha bangkit, melepaskan infus dan melakukan bunuh diri kembali. Kali ini pasti berhasil. “mau bunuh diri lagi?” seorang bersuara laki laki berusaha menghentikanku. Aku tidak pedulikan dia. “dan selepas itu akan menjadi Sia sia perjuanganmu selama ini!” laki laki tersebut kembali berbicara lagi. “apa hakmu! Untuk apa aku hidup. Negaraku tidak pernah menampung untuk orang-orang cacat seperti aku! Ahh udalah semua sudah tidak berarti lagi!” bantah ku
“lalu? Apakah kamu menyerah? Mengapa kamu tidak membuat club untuk orang-orang cacat. Kamu bisa membangun semangat mereka juga kan? Tidak selamanya orang cacat hidupnya tidak berarti. yang membuat hidup itu menyenangkan adalah diri sendiri!” katanya membakar semangatku.
Aku diam. Perkataannya memang benar. Aku ingat pesan ibu “jangan menyerah!”. Aku pun berbalik badan untuk melihat siapa yang sudah mengingatkanku kembali.
“kauuu??” aku melotot, terkejut, dan tidak disangka. Dia… dia laki-laki yang mencegahku untuk bunuh diri pada 5 tahun yang lalu.
“kenapa kau bisa ada disini?” tanyaku semerawut
“aku memang kuliah disini dan akhirnya lulus disini. Aku baru sadar ketika wisuda kemarin, ternyata kamu juga ada disini. Lalu aku membututimu.”
“apakah kau juga tahu aku mendapatkan beasiswa?”
“yah.. aku melihatmu melompat-lompat, itu pertanda kamu pasti mendapat sesuatu yang baik. Benar kan?”
“jadi, menurutmu. Aku tetap melanjutkan S2 ku disana?”
“yah.. tidak perlu malu kan?” pria itu mengambil kursi roda. Ia membawaku ke kamar tempat aku dirawat.
Beberapa bulan kemudian.. aku bangkit kembali. Aku akhirnya membuka club khusus orang memliki “ketidaksempurnaan”, club ini membina untuk mengasah bakat, kecerdasaan dan keterampilan.
Dan pada 18 Maret 2015 aku berangkat ke australia. Club itu akan dipegang oleh pria tersebut. Dan ternyata aku mendapatkan sebuah perlajaran yang sangat berarti, bahwa setiap kehidupan sudah diatur Yang Maha Kuasa dan mimpi itu pun harus ada dan berani mewujudkannya. Tuhan Maha Adil, walaupun sebenarnya kita tidak bisa merasakan jelas keadilan itu. Sebab karena kita sibuk memikirkan kelemahan yang menganggap semuanya tidak adil!
Ingat “Jangan Menyerah! Tidak ada alasan untuk Tidak bisa!”
selesai

Lembaran Putih

Siang ini saya disambut dengan hamparan debu yang menyiksa penciuman, debu-debu itu seakan membuat saya sesak dengan aroma yang khas. Iya, kini saya telah sampai di sebuah pulau terpencil. Tepatnya di selatan Indonesia, dan saya mendedikasikan diri menjadi seorang guru di tempat ini. Langkah demi langkah saya lalui dengan sambutan anak-anak yang sedang bermain dengan sehelai kain lusuh. Mereka memandang saya seakan melihat sesuatu yang belum mereka lihat, padahal saya hanya memakai pakaian biasa berselimut jaket biru kesayanganku dan sebuah ransel dan koper besar yang saya tarik.
“akhirnya kamu datang juga?” wanita paruh baya itu mengejutkanku saat saya melewati (sebuah) rumahnya. “kamu pasti Rafly?” ucapnya lagi, namun nadanya seakan mengajakku untuk berbicara lebih dalam lagi “iya, saya Rafly? apa anda Ibu Asih?” beliau hanya menjawab “iya, kemarilah kau pasti sangat lelah” akhirnya saya menaiki 5 anak tangga yang menghubungkan ke teras. Saat itu saya sangat lelah, dan saya pun beliau adalah guru di pulau ini, iya.. beliau yang memperjuangkan kemerdekaan yang sederhana disini. Hari mulai larut malam, baterai smartphone saya akan habis tapi tidak ada aliran listrik disini. Saya mengambil sebuah jeruk dan mengisi baterai smartphoneku dengan lempengan kawat yang kulilitkan disana, dan cara itu berhasil.
Pagi menjelang, kini langkahku memasuki daerah sekolah. Dan kulihat ini seperti bukan sekolah, papan tipis yang digunakan mulai rapuh, atap-atap seakan ingin memakan mangsa dan suatu saat bangunan itu akan runtuh. Saya melihat beberapa dari mereka bermain bola. Tak terasa kini saya mulai mengajar di kelas yang mirip seperti sebuah gubuk.
“selamat pagi anak-anak” ucapku seraya meletakkan beberapa berkas di meja. Saya memperkenalkan diri dan mulai mengambil buku dari loker. Namun saya melihat tulisan disana tertera di cetak pada tahun 80an-90an, artinya mereka belum menyentuh KTSP dan K13, buku itu benar-benar rusak, banyak halaman yang hilang dan robek. “kalian belajar dengan buku ini? Lalu dimana buku kurikulum 2013 nya?” ucapanku membuat suasana hening, salah satu anak laki-laki mengangkat tangan kanannya “maaf pak, kami hanya mempunyai buku itu. Kurikulum itu apa pak? Kami belum tau, dan selama kami sekolah di sini hanya ada satu guru itu pun bukunya juga memakai buku yang dipegang bapak” saya merenung, kemudian saya berdiri di tengah “kurikulum adalah suatu materi yang disusun secara apik. Dan kurikulum ini sama seperti buku lainnya hanya saja sistem yang digunakan sedikit berbeda. Maksudnya materi di dalamnya lebih mendalam” kemudian anak laki-laki itu berkata “saya mau mencoba kurikulum, kenapa kami tidak pernah menerima buku baru sementara di kota-kota besar sudah banyak yang menerima” saya merasa lemah mendengar perkataan itu, namun saya tetap menjelaskan materi kurikulum agar mereka dapat merasakan apa itu kurikulum. Hari berganti sore, kini aku telah sampai di rumah Ibu Asih dan aku membuka klinik kecil disana. Saat waktu magrib ada seorang anak kecil yang mengetuk pintu.
“anda pasti pak Rafly, guru baru dari kota itu kan?” gadis itu menunjukan sebuah tulisan di genggamannya “iya saya Rafly, dan kenapa kamu menulis di selembar kertas putih ini?” dia menatap bibirku seakan ia membacanya, kemudian anak kecil itu menulis lagi “saya Qifa, maaf pak saya tuli dan bisu.. tapi saya ingin belajar dengan anda, saya ingin menjadi dokter” belum 3 hari saya disini, tapi air mata saya sangat lancar ketika melihat hal seperti ini. “ayo masuk, saya punya sebuah pudding coklat” dia duduk di sampingku, dia ingin menggapai impiannya tapi buku pun tidak ada. Ia memulai curhatnya betapa ia ingin menjadi dokter dan sekolah. “ibu dan ayahku tidak pernah menemaniku, hanya ada nenek yang selalu di sampingku. Orangtuaku terlalu sibuk sampai mereka tidak menemaniku” ia membicarakan semua penderitaannya.
Hari berganti siang, aku menghungi temanku. Aku ingin ia mengumpulkan buku sebanyak mungkin agar aku dapat membagikannya pada anak-anak disini. Beberapa hari berganti minggu. Saat ini setiap hari sabtu sore saya berkeliling dengan membawa buku dari temanku itu dan menunggangi kuda, terkadang saya terharu melihat saat mereka membaca. 27 tahun usia saya sekarang, dan saat ini ada sebuah olimpiade internasional yang diselenggarakan di Beijing. Dan saya memutuskan untuk memilih Marcus untuk mengikuti tes di Jakarta, karena ia sangat lihai di bidang sains. Dan saya mencoba menghubungi dinas terkait agar ia yakin kepada saya kalau Marcus bisa maju ke internasional. Setiap sore ia datang ke rumah saya sedangkan Qifa membantuku untuk merawat pasien yang sedang sakit, saya sudah memberi pengarahan kepadanya bagaimana menyusun obat dan memeriksa setiap orang, Qifa benar-benar sangat cerdas dalam hal kesehatan. “Qifa” sapaku “ada apa pak Rafly? Qifa salah memberi obat?” tulisan itu terpampang jelas di depanku “kamu jaga klinik dulu, saya mau mengajar Marcus” ia hanya menganggukan kepala dan melukis senyum.
“pak, saya tidak yakin akan lolos” ucapnya (Marcus) pelan “ini kesempatan kamu, kamu buktikan kalau kamu bisa. Kita di sini bertemu dengan berbagai macam masalah” ucapku “tapi pak, saya tidak percaya diri” terangnya “kamu masih muda, kamu pandai di bidang sains. Kesempatan tidak akan datang dua kali Marcus” hanya diam, kini aku mulai menjelaskan beberapa materi untuknya. Hari itu kondisi saya sedikit memburuk “uhuk-uhuk.. uhuk” “pak Rafly kenapa? Apa anda baik-baik saja?” tanya Marcus, mungkin paru-paruku kambuh lagi -dalam hati “tidak, saya baik. Belajarnya sampai di sini dulu, besok kita sambung ya” ia menuruti saya, dan segera pulang begitupun Qifa. Saat ini saya berada di atas tempat tidur dan memikirkan sesuatu “saya harus yakin kalau Marcus bisa, tapi buku-buku ini serasa kurang”
3 bulan setelah itu, Marcus semakin pandai. Ia membuat suatu rumus baru, berbekal buku sumbangan dari teman-teman saya, Marcus sangat bersemangat untuk semua ini. Namun kondisi saya memburuk, tapi semangat saya untuk “memberi tahu” semua orang di dunia ini, kalau anak dari daerah terpencil juga sangat pandai.
Ibu Asih juga demikian, beliau membantu saya dalam banyak hal. Dan beberapa hari yang lalu, saya dan Ibu Asih membuat hidroponik sederhana di sekolah. Meski saya sakit, saya tidak akan menyerah.
Singkat cerita, saya dan Marcus di Jakarta. Saat itu, wajah saya tidak bisa lagi segar dan saya sangat lemas. Dan saya setiap hari harus merogoh kocek cukup dalam untuk menghubungi Ibu Asih, agar beliau dapat memberi kabar pada orangtua Marcus. 1 minggu berlalu, kini pengumuman tes telah di bacakan. Dan Marcus lolos dalam tes dan peraih nilai terbaik. Olimpiade mulai 2 bulan lagi, saya meninggalkan Marcus di asrama karena saya harus kembali mengajar di sekolah.
Singkat cerita, kini telah kembali mengajar di sekolah dan semua siswa menanyakan Marcus, itu membuat saya terasa termotivasi untuk memajukan anak-anak ini. Dengan kondisi saya yang sekarang, saya tetap belajar dan memberi materi, berkeliling untuk menjadi “pembawa buku”, membuka klinik, dan membuka ekstrakurikuler lingkungan hidup. Saya tidak menginginkan bayaran untuk semua ini, saya tidak ingin dipuji banyak pihak, tapi saya ingin memajukan negeri ini.
3 hari sebelum Marcus berangkat ke Beijing, saya sakit dan tidak berdaya. Qifa yang merawat saya sekarang begitu juga Ibu Asih, badan saya sangat panas bahkan untuk berdiri saya mual bahkan muntah. Namun saya tetap mengajar dengan cara mengoreksi tugas dari anak-anak, saya tidak mau karena saya sakit, mereka tidak bisa memahami materi.
“halo? Pak Rafly?” Saya mengangkat telepon dari Marcus “halo, bagaimana kabarmu? Apa kamu sudah siap?” tanyaku “saya siap, saya belajar banyak disini. Saya bertemu dengan guru-guru yang sangat baik seperti Pak Rafly? ” ujarnya dengan nada gembira “uhuk uhuk… semoga kamu sukses disana, saya dan teman-temanmu yang lain akan mendukungmu” suara saya lemas saat itu “bapak sakit?” “tidak, ingat pesan saya Marcus. Kita tidak bisa membuat gedung pencakar langit, tapi kita bisa membuat prestasi yang melebihi ketinggian gedung pencakar langit itu” saya terus asyik mengobrol dengannya. Sampai saat nya, kami melihat Marcus kembali dengan piala dan medali emas, serta senyumnya yang manis. Sekaligus melihat Qifa telah menolong sesamanya yang sedang sakit meski ia hanya membaca gerak bibir. Setiap hari saya hanya memakan 3 sendok nasi dan sebuah jeruk, serta membagikan apa yang saya punya.
Saat Marcus mulai bersekolah kembali, ia merasa sedih. Saya tidak mengajar di sekolah, karena saya telah meninggalkan mereka karena sakit. Saya menghembuskan nafas terakhir saat saya membaca sebuah ayat. Ketika saya sembahyang Tahajjud di rumah Ibu Asih. Namun, kemenangannya membuat teman-temannya tersenyum dan termotivasi. Akhirnya kini mereka adalah anak-anak yang pandai, dan mereka sering mengikuti olimpiade tingat provinsi maupun nasional. Saya berhasil membuat mereka pandai melalui Marcus dan Qifa yang pandai di bidang kesehatan.
“Kita tidak bisa membuat gedung pencakar langit, tapi kita bisa membuat prestasi yang melebihi ketinggian gedung pencakar langit itu”
Sekian & terima kasih!!

Cinta Di Batas Asa

“Apa-apaan kamu ini? Apa kamu sudah gila? Apa kamu sudah tidak bisa mencari pendamping hidup yang lebih baik? Kuliah tidak lulus, eh sekarang minta nikah sama perempuan malam juga! Apa masih kurang cukup kamu bikin malu keluarga?” demikian kemarahan terlontar dari seorang bapak terhadap anaknya. Toni adalah nama anak itu.
“Sudah Pak.. Sudah.. Sabar,” kata ibu sambil berderai air mata. Toni hanya bisa menunduk dan terdiam, kemudian masuk ke kamarnya.
Ya, Toni adalah seorang anak muda yang karena kemalasannya membuat dirinya harus ter-DO dari kampusnya. Kisah cintanya pun tak seindah perasaannya terhadap Sari. Sari adalah seorang pemandu karaoke di sebuah tempat hiburan malam di kotanya. Sari juga seorang janda dari tetangganya yang sudah memiliki seorang putra. Malam berganti pagi. Namun suasana di dalam rumah belum berganti. Pagi itu Toni akan pergi ke rumah kos Sari. Di depan rumah, terlihat bapaknya tengah duduk di teras membaca koran sambil menghisap rok*k.
“Pak, Toni pergi dulu sebentar,” pamit Toni kepada bapaknya. Namun bapaknya hanya diam dan terus melanjutkan aktivitasnya. Dengan sepeda motor tua akhirnya Toni pergi ke rumah kos Sari. Sesampai di sana, Toni menceritakan kejadian semalam kepada Sari.
“Sudah Mas. Mas yang sabar.. Lagian orangtua mas juga benar. Wanita seperti aku mana mungkin pantas untuk dijadikan pendamping hidup? Aku hanya seorang pemandu karaoke, janda lagi. Ya jelas orangtua Mas Toni tidak akan setuju,” ucap Sari dengan penuh kesedihan. “Sebenarnya aku juga tidak mau mas kerja dan hidup seperti ini. Aku kerja seperti ini juga karena kepepet Mas. Aku punya seorang anak yang harus aku hidupi. Apalagi aku tidak pernah sekolah, kalau tidak seperti ini bagaimana aku dan anakku bisa hidup? Aku sudah tidak punya sanak saudara lagi, orangtuaku juga sudah lama meninggal,” tambah Sari.
“Tapi aku benar-benar mencintai kamu Sar. Aku ikhlas terima keadaan kamu apa adanya,” kata Toni kepada Sari.
“Iya Mas, aku percaya dan tahu itu. Tapi bagaimana lagi Mas? Aku juga tidak mau egois Mas. Aku tidak mau karena hubungan ini, keluarga Mas Toni jadi berantakan. Terima kasih Mas, Mas sudah bisa menerima semua kekuranganku. Itu saja sudah cukup membuat aku bahagia Mas,” ucap Sari sambil meneteskan air mata.
“Tidak Sari, aku tidak akan menyerah. Aku akan buktikan kepada orangtuaku kalau kamu adalah sosok pendamping yang tepat untukku nanti,” ucap Toni sambil menatap mata Sari dengan penuh keyakinan.
Tak lama kemudian Toni pun berpamitan kepada Sari untuk pulang. Sesampai di rumah suasana pun belum juga berubah. Waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Toni terbangun dari tidurnya. Dia masih memikirkan semua permasalahan hidupnya. Akhirnya dia beranjak dari kasurnya untuk mengambil air wudu dan kemudian melakukan salat tahajud. “Ya Allah, berikanlah aku petunjuk-Mu. Aku tidak ingin menyakiti hati orangtuaku. Aku juga tidak mau menyakiti perasaan orang yang aku cintai. Aku ikhlas terima semua kekurangannya ya Allah. Aku ingin menjadi imamnya dan membimbingnya kembali ke jalan-Mu ya Allah,” doa Toni sambil menangis di akhir salatnya.
Dia kembali ke tempat tidur, bukan untuk melanjutkan tidurnya tapi untuk memikirkan jalan hidupnya. “Kalau aku masih seperti ini terus, maka aku tidak akan pernah bisa mewujudkan semua keinginanku. Aku harus berubah.” kata Toni dalam hati. Seorang pemuda yang dulunya adalah seorang pemalas kini menjadi seorang pria dengan rasa penuh tanggung jawab. Permasalahan hidupnya menjadikan dia menjadi sosok yang lebih kuat, lebih tegar, lebih dewasa, dan lebih bertanggung jawab. Dia sadar, kalau memang dia berjodoh dengan Sari, dia mempunyai anak yang harus dia bimbing. Esoknya Toni pun pergi ke rumah kos Sari.
“Sari, apakah kamu serius untuk meneruskan hubungan ini denganku?” tanya Toni kepada Sari.
“Iya Mas, aku serius. Memangnya ada apa Mas?” tanya Sari dengan wajah bingung.
“Jika aku sudah punya penghasilan, apakah kamu bisa untuk tidak bekerja sebagai pemandu karaoke lagi? Insya Allah nanti untuk kehidupan kamu dan Bagas nanti aku cukupi,”
Sari menangis terharu dengan kata-kata Toni. Serasa dia masih tidak percaya bahwa masih ada seorang laki-laki yang bisa tulus mencintainya, bukan memandang dia sebelah mata.
“Aku tidak mau merepotkan kamu Mas. Apalagi kalau nanti orangtua Mas Toni tahu. Nanti malah akan jadi masalah lagi,” kata Sari.
“Tidak Sari. Ini adalah caraku untuk membuktikan kepada orangtuaku kalau aku sudah berubah dan benar-benar tulus mencintai kamu. Aku ingin membimbing kamu dan anak kamu kembali ke jalan yang benar. Jadi tolong jangan lemahkan niatanku ini. Perkenalanku denganmu mampu menjadikan aku sosok Toni yang berbeda,” ucap Toni.
“Terima kasih Mas, jika memang niat Mas Toni seperti itu maka Sari akan selalu mendoakan yang terbaik buat Mas,” kata Sari. Akhirnya Toni pulang dengan penuh motivasi.
Hari terus berganti, namun Toni belum juga mendapatkan pekerjaan apa pun. Namun dia tidak putus asa, dia hanya ingin bekerja mencari uang agar wanita yang dia cintai tidak kembali lagi ke pekerjaannya. Tanpa memandang rasa malu, akhirnya dia memutuskan untuk bekerja sebagai tukang bangunan. Orangtua Toni tidak tidak mengetahui akan hal itu, termasuk Sari. Dan pada malam hari Toni juga bekerja sebagai tukang parkir di pasar. Rejeki yang dia dapatkan selalu dia sisihkan. Pertama untuk Sari dan anaknya, kemudian sebagian lagi untuk dia tabung. Pagi hari sebelum berangkat kerja, Toni mampir ke kos Sari.
“Sari, ini aku ada sedikit rejeki buat kamu dan anak kamu. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi semoga cukup untuk mencukupi kebutuhan kamu hari ini,” ucap Toni sambil memberikan selembar uang kertas berwarna biru kepada Sari.
“Mas, ini uang dari mana? Apa Mas Toni sudah bekerja? Kok aku tidak pernah dikasih tahu?” Tanya Sari kepada Toni.
“Alhamdulillah. Insya Allah uang ini halal. Ini adalah hasil jerih payahku, aku sudah dapat kerja,” jawab Toni.
“Tapi Mas Toni kerja apa? Di mana?” tanya Sari.
“Ya pokoknya ada. Maaf untuk saat ini Mas belum bisa cerita,” jawab Toni.
“Jadi hari ini kamu nanti tidak akan bekerja kan?” tanya Toni.
“Iya Mas, Sari hari ini tidak akan bekerja,” jawab Sari.
Akhirnya Toni berpamitan kepada Sari untuk berangkat kerja. Toni setiap hari terus bekerja, tanpa ada yang tahu apa yang dia kerjakan. Hingga suatu hari ada tetangga Toni yang melihat dia dan menceritakan pekerjaan Toni kepada bapaknya.
“Pak sekarang Toni sudah kerja ya? Barusan saya lihat dia di proyek perumahan dekat alun-alun kota Pak,” kata tetangga itu.
“Ah yang benar? Tidak mungkin ah. Paling dia juga lagi main keluyuran tidak jelas,” kata bapak Toni.
“Benar kok Pak, saya tadi lihat dia dan sempat ngobrol sebentar sama dia,” jawab tetangga itu.
“Ah, yang benar kamu? Kok dia tidak pernah cerita sama saya atau Ibunya? Memangnya dia kerja apa?” tanya bapak Toni. “Tadi sih saya lihat dia sedang ngaduk semen Pak, kayaknya jadi tukang bangunan. Coba Bapak lihat kesana sendiri,” jawab tetangga itu.
“Ah masak sih? Coba nanti saya coba ke sana.” kata bapak Toni.
Dengan mengendarai sepeda motor, akhirnya bapak Toni menuju ke lokasi yang tetangganya ceritakan tadi. Alangkah terkejutnya dia sesampai di sana. Dilihatnya dari jauh ternyata memang benar itu adalah Toni anaknya. Bukan rasa marah atau malu, tapi haru. Itulah yang dirasakan bapaknya. Dia tidak pernah menyangka ternyata anaknya kini sudah jauh berubah. Akhirnya bapak Toni pulang dan menceritakan kepada ibunya. Pada malam hari, orangtua Toni menunggu dia pulang di depan rumah. Sambil duduk di teras. Tak lama kemudian Toni pun pulang.
“Assalamualaikum,” salam Toni ketika mau masuk rumah.
“Waalaikumsalam,” balas bapak dan ibunya.
“Sini duduk dulu,” kata bapak Toni.
“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang?” tanya bapaknya.
“Toni habis main Pak, ke rumah teman,” jawab Toni.
“Teman siapa? Sari?” tanya bapaknya.
“Ti..Tidak Pak. Toni tidak ke sana,” jawab Toni.
“Sekarang kamu jujur sama Bapak dan Ibu kamu, beberapa hari ini apa yang kamu kerjakan?” tanya bapak Toni.
“Memangnya ada apa Pak?” tanya Toni bingung.
“Sudah jawab saja Nak, kami sebagai orangtuamu cuma pengen kamu jujur,” kata ibu Toni.
“Betul kata Ibumu. Sudah sekarang jawab saja,” kata bapaknya.
Toni menghela napas sebentar.
“Baik Pak, Bu. Toni akan jujur. Sebelumnya Toni mau minta maaf dulu karena Toni sebelumnya tidak pernah cerita ke Bapak ataupun Ibu. Jadi beberapa hari ini Toni bekerja Toni bekerja di lokasi proyek dekat alun-alun kota,” kata Toni. “Kerja apa kamu Nak?” Tanya ibu.
“Kerja sebagai tukang bangunan Bu. Dan kalau malam Toni jadi tukang parkir di pasar. Maaf kalau pekerjaan Toni tidak sesuai harapan Bapak atau Ibu. Toni takut mengecewakan Bapak dan Ibu lagi kalau tahu pekerjaan Toni sebenarnya,” jawab Toni dengan nada pelan.
“Terus untuk apa kamu sampai rela bekerja seperti itu? Apa uang yang Ibu kasih kurang?” Tanya ibu.
“Tidak Bu, sama sekali tidak kurang uang yang Ibu berikan Toni simpan untuk tabungan Toni, karena Toni ingin buka usaha sendiri Bu suatu saat nanti. Toni bekerja seperti ini untuk membuktikan bahwa Toni bisa mandiri. Toni bukan anak manja lagi,” jawab Toni.
“Dan juga untuk…,” Toni menghentikan sejenak kata-katanya.
“Untuk apa?” tanya bapak.
“Untuk Sari Pak. Toni ingin Sari berhenti bekerja sebagai wanita malam lagi. Toni betul-betul serius Pak ingin meminang Sari. Toni ingin membimbing dia kembali ke jalan yang benar. Jadi uang yang Toni dapatkan sebagian Toni tabung dan sebagian lagi untuk mencukupi kebutuhan Sari. Jadi Sari tidak perlu bekerja lagi seperti biasanya,” Jawab Toni.
“Jadi kamu jatah dia setiap hari? Memangnya kamu tahu kalau dia tidak kerja lagi seperti itu? Kamu saja kalau pergi pagi, pulang juga sudah malam gini,” tanya bapak Toni
“Toni percaya sama dia Pak. Uang yang Toni kasih ke Sari tidak dia habiskan, melainkan dia sisihkan sebagian untuk modal usaha. Sekarang dia usaha jual pakaian keliling Pak. Jadi bisa buat tambah-tambah penghasilan. Dan dia tidak perlu kerja seperti dulu lagi. Dan niatnya nanti, Toni mau buka usaha sama Sari Pak. Ya warung makan kecil-kecilan Pak,” jawab Toni.
“Maaf kalau Toni lancang masih berhubungan dengan Sari tanpa sepengetahuan Bapak dan Ibu. Hubungan Toni dan Sari itu positif, mampu membuat Toni dan Sari berubah menjadi orang yang lebih baik. Dan sekarang ini, Toni ingin sekalian minta restu Bapak dan Ibu. Insya Allah Toni ingin segera melamar Sari,” lanjut Toni. Ibunya menangis terharu. Melihat kerelaan dan kesungguhan putranya itu. Ternyata anaknya yang dulu manja sekarang menjadi seorang lelaki yang kuat, tegar, dan bertanggungjawab.
“Apa-apaan ini?! Melamar, melamar. Enak saja!” kata bapak dengan nada tinggi.
Tiba-tiba suasana yang penuh haru berubah menjadi penuh amarah. Toni dan ibunya pun langsung terkejut.
“Hahahaha. Bapak hanya bercanda. Besok ajaklah Sari ke sini. Biar kenalan dulu sama Bapak dan Ibumu ini dan kita bahas acara lamaran kamu baiknya seperti apa.” kata bapak Toni. Dan suasana pun kembali penuh haru bahagia. Toni pun menangis sambil bahagia.
“Baik Pak, Bu, terima kasih atas restunya,” kata Toni sambil mencium tangan kedua orangtuanya.
“Sudah sana mandi dulu. Terus makan dan istirahat,” kata ibu.
“Iya Bu, Toni masuk dulu.” pamit Toni.
Kemudian masuklah Toni ke dalam rumah disusul kedua orangtuanya.

Jam 9

Tak pernah terpikirkan oleh ku akan sayap yang dulu telah patah. Aku bahkan tak pernah bisa memperbaikinya. Bahan-bahan yang biasa aku pakai untuk memperbaiki, kini telah hilang seperti debu yang ditiupkan angin.
Sayap itu.. arrrghhhh.. Aku begitu bodoh dan sangat bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa mematahkannya? Apa yang harus aku perbuat lagi sekarang? Siapa lagi yang harus aku minta tolong?
Kini, aku tak tahu harus berbuat apa. Bingung, galau, dan stress saja yang aku rasakan sepanjang hari. Aku begitu bodoh dan idiot. Sepertinya aku tidak akan memaafkan diriku lagi yang dulu.
Dan yang lebih parahnya lagi, seseorang yang mempunyai sayap yang patah itu telah pergi meninggalkan aku dengan rasa kecewa yang teramat dalam. Dia berlari, dan aku ingin mengejarnya. Tapi, kaki ku ini bahkan tidak bisa berlari. Tangan dan mulut ku juga tidak bisa menghentikannya. Seakan-akan, anggota tubuhku mendukung akan semua keputusannya. Ya, berlari meninggalkan aku sendiri disini.
Jarum jam pun terus berputar. Berputar dari jam 9 malam dan kembali lagi. Jam 9 merupakan waktu aku mematahkan sayapnya yang indah. Sayap putih yang membantunya dapat terbang ke istana, tempat perteduhannya. Namun, dia tidak bisa kembali lagi.
Aku ingin menemuinya dan ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang aku perbuat. Tapi, kemanakah aku harus mencarinya? Aku sudah berusaha mencari dengan sayapku ini. Dan hasilnya, tidak ada jejak satu pun yang aku dapatkan.
Aku merasa gundah gulana. Pikiranku kosong dan hampa. Bahkan kaki dan tanganku ingin berbicara bahwa tidak ada harapan lagi untuk menemuinya. Namun, hanya sayapku saja masih ingin terus mencari dan mencari.
Perjalanan untuk mencari cintaku yang telah lama pergi ini sungguh sangat memakan waktu dan tenaga. Dan jam pun berputar lagi ke arah 9. Membuat aku meneteskan air mata yang bercucuran di atas sayapku. Mengingat akan kejadian itu, serasa sangat berbekas dan sangat menusuk sampai ke organ tubuhku yang paling dalam.
Hanya angin dan air mata yang menjadi makanan dan minumanku setiap hari. Hanya sayapku ini saja yang menjadi sahabat sejatiku. Semua tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki seakan sudah menjadi musuh bebuyutan ku. Terasa sangat capek dan gundah yang aku rasakan.
Langit dan pepohonan sudah menjadi teman penghiburku. Saat ini yang aku butuhkan cuman dia. Hanya dia sajalah, aku ingin bertemu dan meminta maaf atas semua yang telah terjadi.
Utara sampai selatan pun aku sudah mencari. Bahkan timur dan barat pun berkata dia tidak ada disini. Lalu, kemanakah aku harus mencari? Ya Tuhan! Bantulah aku untuk mencari dia. Aku sudah capek. Aku hancur. Aku stress. Ingin rasanya aku mau mati. Dan melupakan akan semuanya ini. Aku tak tahu dan tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Dimanakah dia? Sedang apakah dia? Apakah dia sedang bersedih? Ataukah dia sedang bahagia? Apakah dia sedang mencari seseorang untuk memperbaiki sayapnya yang patah?
Jika memang dia sudah mendapatkan orang yang telah memperbaiki sayapnya yang patah, aku tidak peduli. Aku pasrah akan semuanya ini. Lagipula, dia sudah bergembira dengan orang itu.
Saat ini, aku hanya ingin menemuinya hanya sekali ini saja. Walaupun ini sangat berat bagiku untuk melepaskannya. Namun, aku ingin menemuinya dan hanya meminta maaf atas semua ini. Aku hanya ingin memberikan kepada dia mawar merah yang aku bawa setiap hari sebagai tanda permohonan maafku. Aku sangat ingin menemuinya. Tak peduli apapun yang dirasakannya saat ini. Aku hanya ingin melihatnya walau hanya sekali. Ya, cuman sekali ini saja.
Rasa letih ku ini seakan telah datang bergerombolan tanpa diundang. Rasa berat telah membebani tubuhku yang telah rapuh ini. Seakan masa mudaku telah berlalu dengan sangat cepat. Tapi, sayapku masih sangat kuat untuk mencari dan terus mencari akan keberadaan cintaku.
Jikalau dia mendengar akan suara kerapuhanku ini. Dan jikalau dia merasakan akan apa yang dirasakan olehku yang sedang gundah gulana ini, tanyaku apa yang akan dia lakukan?
Hari demi hari telah aku lalui dengan penderitaan yang sungguh sangat menyiksa. Jarum jam pun kembali lagi ke angka 9. Angka yang membuatku putus asa ketika melihatnya. Jam 9 merupakan awal semua ini terjadi. Sayap yang patah telah lama pergi. Meninggalkan aku sendiri. Hanya air mata yang setiap hari dirasakan oleh pipiku.
Aku pun beranjak dari petiduranku dan kembali mencari dia. Kata maaf pun sudah sangat aku hafal. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah dimana keberadaan dia? Orang yang selama ini ku cari? Dan mungkin hanya 30 detik saja aku ingin berbicara. Dan setidaknya, penderitaan yang menyiksa ini dapat aku bunuh dengan sebuah permohonan maaf dan sebatang mawar merah.
Hidup ini… ah, dimanakah dia? Aku seperti orang kebingungan. Yang bertanya kepada rumput dan pepohonan. Dan mereka tahu tapi tidak ingin memberitahu. Ingin marah rasanya diriku terhadap mereka.
Aku terus mencari dan mencari. Tanah yang aku pijaki ini juga terasa sudah sangat bosan melihat wajah aku. Aku tidak tahu bagaimana rasanya roti dan segelas teh hangat lagi. Sayapku berbicara kepadaku bahwa ia ada di depan sana. Kejarlah! Namun, kaki ini tak bisa untuk berlari lagi. Sama seperti kaki buyut yang akan segera lisut.
Aku pun sampai di garis akhir hutan yang sangat rindang ini. Ku temukan sebuah jalan yang amat sepi. Seperti jalan berhantu, dan tak ada kendaraan yang melintasi. Jalan yang sangat misterius namun kakiku tetap melangkah atas perintah sayapku.
Aku pun berjalan menyusuri jalan ini. Mentari akan segera tenggelam. Dan aku merasa sangat takut akan jarum jam yang akan berputar lagi ke arah jam 9. Angka yang membuat aku setiap hari menitikkan air mata yang mengalir ke pipiku ini. Mengingat akan semua kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sayap yang patah itu kini telah lama pergi. Pergi ke tempat yang aku tidak tahu dimana. Pergi ke sebuah negeri yang sangat jauh. Yang mungkin akan sampai dalam waktu 100 tahun.
Aku pun berteduh sejenak memikirkan akan semuanya ini. Apakah hanya sebatang mawar merah dan permohonan maaf saja yang akan kuberikan? Apakah dia akan memaafkanku? Ah.. tidak.. Hal seperti itu bahkan tidak boleh terbayangkan di dalam benakku. Aku harus percaya diri akan semuanya ini. Melihat wajahnya saja, mungkin saat itulah penderitaanku akan hilang. Walau wajahnya pada saat itu terlihat penuh sekali kebencian.
Jarum jam pun kembali mengunjungi angka 9. Aku merasa angka itu terus tertawa kepadaku. Dan berkata, “Kamu tidak mempunyai harapan lagi bertemu dengan dia. Dia sudah mengunjungi orang lain. Dan orang itu sudah memperbaiki sayapnya yang patah. Kembalilah ke asalmu. Carilah orang lain. Tidak ada harapan lagi bertemu dan meminta maaf kepada dia”
Aku ingin tidur. Tidur di dalam keterpurukan hidupku ini. Tidur dan melupakan akan apa yang aku perbuat selama ini. Adakah orang lain yang ingin memberikan kepadaku selimut kegembiraan? Yang membuat aku kembali ceria seperti dulu?
Matahari mulai menunjukan wajahnya yang berseri kepada dunia. Aku pun belum tersadar. Namun, yang aku rasakan adalah kehangatan pelukan matahari yang membuatku tersadar saat itu.
Jarum jam kembali lagi ke angka 9. Dan kini saatnya aku terbangun dari tidurku yang sangat pahit. Tapi, yang aku lihat adalah sebuah rumah yang amat besar dan aku pun di dalam rumah ini. Aku pun bergegas bangun dan membuka kamarku dengan rasa heran.
Aku melihat banyak orang yang sangat sibuk mengurusi rumah itu. Rumah yang sangat megah bak istana langit. Aku pun terkejut pada saat ada seseorang yang datang menghampiriku. Seorang wanita yang berparas cantik nan anggun. Bergaun merah jambu dan bersepatu kaca. Rupanya dia sudah mempunyai anak, namun kecantikkannya masih tetap terjaga.
Dia menghampiriku dan berkata, “Orang yang ingin kamu temui, sudah sangat lama menunggumu di taman belakang rumah. Segeralah menemuinya. Dialah yang menemukanmu terkapar di pinggir jalan ketika dia baru pulang dari tempat persembunyiannya. Dialah yang telah merawatmu selama 3 hari kamu tidak sadarkan diri. Badanmu sangat lemas dan kamu jatuh sakit. Tapi, sekarang kamu sudah baikkan. Segeralah menemuinya!”
Keheranan pun tampak di wajahku. Apa yang dimaksudkannya? Orang yang telah merawatku? Siapa dia? Apakah…? ah tidak. Aku tidak boleh membuat kesimpulan secara sembarangan.
Aku pun segera mengganti pakaianku yang sudah sangat kusut dan kusam yang telah mereka sediakan buatku. Kemeja putih dengan stelan jas hitam yang mewah dan berdasi. Seakan hari ini adalah hari spesial buatku. Wewangian yang aku pakai juga semerbak harum bunga di padang. Sangat khas beraroma lelaki. Dan semua yang aku pakai ini juga, sepertinya semua orang di dalam rumah ini sudah mengetahui akan apa yang aku sukai. Sebatang mawar merah pun aku sisipkan ke dalam saku jas yang aku kenakan.
Makanan dan minuman yang mereka sajikan juga sangat tepat dengan apa yang aku sukai. Steak sapi dengan sepiring nasi dan jus avocad merupakan makanan yang sudah 3 minggu aku tidak pernah rasakan.
Matahari telah menunjukkan keperkasaanya. Dan tak lama kemudian, ia seakan malu dan ingin tidur di tempatnya. Seorang lelaki berpakaian pelayan ala restoran datang menghampiriku untuk segera menemui seseorang yang telah menolongku ini.
Aku pun pergi dengan rasa ingin tahu. Siapakah dia? Kaki yang lemah waktu itu, sekarang bagaikan kaki seorang anak kecil yang hanya ingin berlari kesana kesini.
Pintu belakang pun aku buka. Dan terlihat seorang wanita bergaun hijau padang rumput dan bersepatu hitam pekat sedang duduk di sebuah ayunan yang membelakangiku. Terlihat aku sangat mengenal wanita itu. Terlintas di dalam pikiranku bahwa, apakah ini dia? Apakah dia, orang yang selama ini aku cari?
Langkah kakiku sangat pasti. Sayapku berbicara kepadaku bahwa inilah dia. Namun, aku tak percaya atas kejadian ini. Mungkin saja orang ini memintaku untuk berterimakasih kepada dia karena sudah menolongku.
Semakin sampai ke tempat ayunan itu dan aku pun memberanikan diri untuk memegang pundaknya. Tanganku akhirnya mendarat di pundaknya dan orang itu membalikkan pandangannya kepadaku.
Senyuman yang terpancar dari wajahnya dan air mata yang ia teteskan, bersamaan dengan kata permohonan maaf ku yang selama ini aku mengingatnya dan bahkan menghafalnya.
Dia pun berdiri melihat wajahku, dan aku hanya menunduk bahkan sampai berlutut untuk mengucapkan permohonan maaf atas sayapnya yang telah patah. Dia pun ikut berlutut dan berkata, “Ayo, bangunlah jangan bersedih. Hapuslah air matamu dari wajah tampanmu itu”.
Tapi, aku segera meraih tangannya dan berkata, “Geisha, terimalah permohonan maafku ini. 3 minggu aku mencari kamu dan hanya ingin meminta maaf atas semua yang telah terjadi. Hatimu itu, aku sudah menganggapnya sebagai sayap yang selalu terbang ke negeri hatiku ini. Aku mencarimu. Bahkan angin dan air mataku ini menjadi makananku siang dan malam. Aku meminta maaf atas semuanya ini. Kejadian waktu itu. Ya, kejadian yang membuat sayapmu ini patah, sampai aku tidak bisa memperbaikinya, aku sangat meminta maaf. Hubungan aku dan Yeni hanyalah sebatas teman. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Tidak ada orang ketiga di dalam hubungan kita berdua. Hanya aku dan kamu seorang. Hanya kamulah yang aku punya. Hanya kamulah bidadari ku yang paling menawan. Percayalah padaku. Maukah engkau memaafkanku?”
Geisha pun segera memelukku dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Sungguh sangat mencintaimu. Kesalahanmu yang dulu, kini aku sudah maafkan. Mulai sekarang aku akan mempercayaimu. Aku sempat bersedih ketika melihat kamu tertidur di jalan seperti orang sakit. Aku membawamu ke sini dengan air mata yang berlinang. Aku berusaha membangunkanmu. Namun, hanya namaku dan permohonan maafmu yang hanya aku dengar. Aku mengerti sekarang akan cintamu yang begitu tulus kepadaku. Aku sangat mencintaimu. Sungguh sangat cinta”.
Terasa sangat dingin dan haru yang aku rasakan. Air mata aku dan Geisha pun mengalir secara bersamaan. Aku pun menghapus air mataku dan air matanya dan berbicara kepadanya, “Trimakasih sayang. Aku sungguh sangat mencintaimu. Kini, penderitaanku telah hilang setelah melihatmu dan kata cinta dari mulutmu. Mungkin, bunga mawar ini aku berikan sebagai tanda akhir bahwa aku tidak lagi menyakiti perasaanmu. Ku mohon terimalah!” Dan Geisha pun kembali tersenyum dan mengambil mawar dari tanganku serta berkata, “Marilah ke dalam. Aku sudah menyiapkan pesta buatmu. Kamu tahukan, hari ini adalah hari jadian kita berdua. 14 Februari bertepatan dengan hari kasih sayang. Aku membuat semuanya ini agar kamu tidak terus-terusan lagi meminta maaf kepadaku. Karena aku sekarang sudah sadar, bahwa cintamu kepadaku sungguh sangat tulus. Marilah kita berpesta di dalam. Terimakasih juga buat bunga mawar yang indah ini.”
Geisha pun segera menarik tanganku dan membawaku ke dalam untuk berpesta. Sangat ramai di rumahnya saat itu.
Aku tahu sekarang, bahwa cinta sejati yaitu rela mengorbankan segalanya. Jam sudah menunjukan pukul 9. Angka yang dulunya aku takuti, kini telah menjadi kebahagiaan buatku. Aku menatap jam 9 dan berkata, “Aku telah menang. Ternyata, harapan akan selalu ada bagi orang yang selalu mendambakannya. Sekarang kamu hanyalah sebuah angka yang tidak pantas menyakitiku lagi. Teruslah berputar dan jangan coba-coba membuatku memikirkan hal yang pahit itu lagi. Teruslah berputar maka aku dan Geisha sampai ke acara kebahagiaan dan sampai maut yang memisahkan kami.”

Aku Dan Sejuta Mimpiku

Bermimpilah kamu setinggi-tingginya, karena saat kau terjatuh setidaknya kamu terjatuh di antara bintang-bintang
“ah.. mengada-ngada. Apa hubungannya impian yang ditulis di kertas dengan terwujudnya sebuah impian?” pikirku saat melihat tayangan di televisi yang menganjurkan menulis semua impian agar bisa cepat terwujud.
Tapi beberapa bulan yang lalu, saat aku semester satu saat aku masih kost di pesma Aisyah. Aku menuliskan impian-impianku. Hal ini bermula karena saat itu ada acara mentoring, kalau tidak salah temannya adalah Mewujudkan Impian Dengan Segenggam Semangat. Setelah pementor memberikan cerita-cerita yang memotivasi, kami pun dibagikan secarik kertas, dan kami diminta untuk menuliskan impian-impian kami. Tanpa pikir panjang kami segera menuliskan impian-impian kami, khususnya yang ditargetkan untuk tahun ini.
Semua anak sibuk memikirkan dan mencatat impian masing-masing. Aku ingat saat itu impian terbesar dan terdekatku yaitu. Aku ingin mondok. Impian itu ku tulis di nomor satu dan dengan tulisan yang paling besar. Dan diikuti dengan impian-impian lainnya. Setelah itu secarik kertas itupun aku tempel di pintu almari baju, agar aku selalu ingat dengan mimpi-mimpiku, dengan mengingat mimpi-mimpiku itu aku bisa lebih bersemangat untuk belajar agar dapat mewujudkannya, itulah tujuannya.
Aku fokus memikirkan impianku untuk mondok, aku sempat berfikiran akan kuliah sambil bekerja. Bekerja mengumpulkan uang agar semester 2 nanti aku bisa mendaftar mondok. Yaa… karena alasanku tidak mondok karena orangtua yang khawatir tidak mampu membiayai kehidupanku di pondok. Aku ingat betapa hancurnya perasaanku saat itu, saat orangtuaku tidak mengijinkanku untuk mondok. Aku sedih, kecewa bahkan aku sempat mengurung diri di kamar dan tidak mau berbicara dengan siapa-siapa. Aku hanya menangis dan menangis. Hingga akhirnya ibuku pun tak tega melihat aku dengan keadaan seperti itu, selalu keluar kamar dengan mata yang sembab. Ibuku pun menghampiriku dan mengatakan,
“ya udah nanti kamu mondok ya… tidak usah bilang-bilang sama bapak, biar ibu yang membiayaimu. insyaAllah pasti ada rejeki”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya tersenyum. Sungguh seakan dunia ini begitu indah, ibu memang selalu mengertikanku. Kesedihan telah berganti dengan kebahagiaan. Namun ternyata itu hanya kebahagiaan sesaat. Beberapa hari setelah itu kakaku yang nomor 2 menghampiriku.
“mau mondok nok?”, tanyanya lemah lembut.
“iya. Ibu udah memberi izin”.
“beneran mau mondok?. Apa kamu akan tetap mondok sedangkan bapak tidak mengijinkanmu. Iya mungkin ibu tak memebri tahu bapak, tapi apa iya anaknya mondok tapi bapaknya tidak tahu. Asal kamu tahu sebenarnya ibu terpaksa mengizinkanmu mondok, karena ibu tidak tega melihatmu terus-terusan bersedih. Percuma kamu mondok kalau bapak tidak merestui, ilmunya tidak akan bermanfaat” katanya begitu tegas.
Aku kembali tercengang… butiran bening itu kembali membasahi pipiku. Ah.. aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Kakaku pun keluar dari kamarku. Aku kembali menangis, aku merenung. Apa yang dikatakan kakkakku ada benarnya juga, untuk apa aku mondok kalau tak mendapatkan restu, sedang di sana aku akan mencari ilmu. Tanpa restu dari orangtua mana mungkin aku bisa berhasil.
Dan akhirnya aku pun tidak jadi mondok dan malah ngekost.
Beberapa bulan kemudian impian terbesarku untuk mondok akhirnya bisa terwujud. Hal ini bermula karena aku mendapatkan beasiswa BIDIKMISI. Seleksi BIDIKMISI di kampusku memang berbeda dengan kampus yang lain, seleksi BIDIKMISI baru dilaksanakan setelah aku sudah diterima menjadi mahasiswa STAIN Pekalongan.
Untuk mendapatkan BIDIKMISI pun bukanlah hal yang mudah, aku harus kesana-kesini untuk melengkapi semua persyaratannya. Lelah.. memang lelah, tapi aku tetap bersemangat, meski di sana tertulis hanya ada 10 kuota. Tapi aku tetap berjuang, karena aku punya keyakinan aku bisa mendapatkannya. Dan dengan mendapatkan BIDIKMISI maka aku bisa mondok. Ya.. mondok. Impian terbesarku. Meski pada saat pengumpulan berkas aku sempat down, dan enggan untuk mendaftarkan diri. Masalahnya spele, hanya karena snelhekternya salah. Dan petugasnya mengatakan “saya bisa menerimanya, tapi saya tidak menjamin anda akan lolos seleksi”.
Aku sudah menyambangi satu fotokopian ke photocopyan lainnya, namun snelhecter warna hijau yang sesuai dengan permintaan pihak akademik tidak ada. Ini yang membuat aku ngedown. Aku pun pulang ke kost dengan lemas tanpa semangat.
“bagaimana Nay? Udah dikumpulin berkasnya?”, tanya mba Purti si Umi kost.
“belum mba. Aku tidak jadi mengumpulkan lah mba.. males”
“kenapa?”
Aku pun menceritakan apa yang terjadi.
“ya Allah Nay, perjuanganmu tinggal selangkah lagi loh. Apa nggak sayang, dari kemarin kamu udah susah payah, udah bolak balik pekalongan-comal. ayo semangat, masa hanya gara-gara itu kamu nyerah begitu aja. Emang terakhir ngumpulinnya kapan?”
“besok”
“nah itu masih ada waktu. Yaudah nanti kalau opy pulang minta antar Elsa untuk mencari snelhekter ya”
Kata-katanya menyadarkanku, dan membuatku kembali bersemangat. Aku ingat bahwa yang berjuang dalam hal ini bukan hanya aku, kakkaku bahkan sampai bersusah payah ke Pemalang, kantor catatan sipil untuk melegalisir KK, padahal jarak dari rumah itu lumayan jauh sedangkan siangnya kakkaku harus bekerja. Akhirnya akupun kembali mencari snelhekter dengan diantar mba Elsa. Dan perjuangan kami pun membuahkan hasil, kami berhasil mendapatkan snelhekter.
Dan ternyata di photocopyan depan gang ada, tapi entah kenapa justru tempat itu yang terakhir aku sambangi, padahal itu yang paling dekat dengan kostanku. Tapi ada hikmahnya juga si, dengan mencari dari satu photocopyan ke photocopyan lainnya aku melihat selebaran yang berisi tentang pengumuman akan ada ust. Yusuf Mansur di Masjid alun-alun Kota Pekalongan, dalam rangka peresmian Yayasan Al-Maliki.
“mba El.. mungkin ini tujuan Allah. Allah ingin menunjukkanku selebaran ini. Makanya Allah mengantarkanku berkeliling mencari snelhekter padahal yang dekat ada”. Ucapku sambil mengeluarkan selebaran dari tasku
“iya Nay. Udah gak sedih lagi kan. Hehee” jawab mba Elsa sambil meneguk air, ia terkihat begitu capek.
“iya mba El, subhanallah semua memang ada hikmahnya ya mba El, aku nyesel udah su’udzon sama Allah. Makasih ya mba el udah mengantar aku. Padahal tha mba El masih capek, baru pulang kuliah tapi udah direpotin sama aku. hehe”.
“iya sama-sama. Santai aja Nay”.
Dan keesokan harinya akupun mengumpulkan berkas-berkas itu.

Lelaki Marathon

Not a leaf falls but that He knows it.
(Quran, Al-An’am, 6:59)
Dahulu, di awal abad ke-20, di tengah sebuah desa yang terpencil di Inggris, hiduplah seorang anak laki-laki yang gemar berkelana dan memancing ikan di sungai. Dia memiliki seorang adik laki-laki berusia sepuluh tahun —lima tahun lebih muda darinya— yang selalu menemaninya ke mana pun dia pergi. Di mana pun tempat lelaki itu memancing ikan, adiknya akan selalu menyertai dengan duduk tenang di sampingnya. Terkadang anak bungsu itu akan memiringkan kepalanya pada lengan kakaknya saat dia sudah merasa mengantuk atau bosan karena menunggu, sambil sesekali berusaha menerka-nerka pikiran kakaknya; lalu beberapa menit kemudian, dia akan menegakkan kepalanya lagi, untuk menanyakan menu makan malam, untuk menanyakan apakah kakaknya sudah lapar, atau pun untuk mengamati kondisi sungai. Mereka tak pernah menghabiskan waktu dengan memancing di satu sungai saja dalam waktu sehari; mereka akan selalu pergi dari sungai pertama ke sungai lainnya. Kebiasaan itu justru membuat mereka mendapatkan banyak ikan, membuat ranjang yang ditenteng adiknya menjadi lebih berat. Sepanjang perjalanan, hati mereka senantiasa gembira karena bisa menemui dan mengobrol dengan banyak orang; mereka gembira saat bertegur sapa dengan seorang petani, mereka gembira saat bertegur sapa dengan kawanan pemburu ular di hutan, mereka gembira saat bertegur sapa dengan seorang bocah pencari kayu, mereka gembira saat bertemu seorang gadis penggembala domba.
Siang itu ketika sang kakak sedang duduk memancing ditemani adiknya di sampingnya, dari sungai—sungai kelima yang sedang mereka singgahi, si bungsu tiba-tiba berteriak untuk memberitahu kakaknya mengenai apa yang sedang dia lihat; di lembah, di atas sungai, dia melihat seorang pemuda berperawakan tinggi sedang berlari secara bolak-balik dari pohon satu ke pohon kedua. Jarak antara keduanya lima belas meter. Selama bertahun-tahun mereka mengelana, belum pernah mereka jumpai sosok seperti itu. Pemuda itu berusia dua puluh satu tahun; dia telah berhari-hari menjalani olahraga, terutama berlari, untuk mempersiapkan diri menghadapi lomba Marathon yang akan diikutinya. Setelah adiknya memutuskan untuk menemui pemuda itu, anak berusia lima belas tahun itu kini duduk sendirian —menikmati kesendirian. Sesekali katak-katak berlompatan di tepi sungai; mereka berlombatan, mereka melirik tajam keadaan, mereka bersembunyi. Menyembunyikan diri di balik batang tanaman atau pun di samping bunga-bunga pendek dan tebal yang bermekaran. Sambil tak henti-hentinya mengedarkan lirikan tajam pada pemancing itu.
Kemudian, saat senja akan melambaikan tangan berpamitan pergi, saat malam mulai memperkenalkan warna gelapnya, saat bintang-bintang dan bulan perlahan bermunculan menerangi jalan, mereka bergegas pulang menyusuri tebing-tebing curam, melewati desa-desa tenteram, dan rumah-rumah yang sunyi. Sepanjang perjalanan pulang, bocah berusia sepuluh tahun itu merengek kepada kakaknya, memintanya untuk berhenti istirahat sejenak di pondok milik seorang petani. Kaki-kaki kecilnya sudah tak kuat lagi menapaki jalanan.
Tiba di rumah malam hari, dengan antusias mereka segera membakar ikan-ikan di halaman belakang, ditemani oleh semilir angin malam yang menerbangkan helai rambut, suara jangkrik yang menentramkan telinga, gemerisik daun-daunan yang sesekali terdengar menakutkan.
Lama-kelamaan, hubungan antara bocah kecil dengan seorang pelari itu semakin dekat. Mereka berdua sudah tampak akrab sekali. Bahkan, setiap kali dia dan kakaknya tiba di sungai kelima, dia selalu meminta izin kepada kakaknya untuk menghampiri pelari itu dan ikut berlari dengannya—meninggalkan kakaknya memancing sendirian.
Suatu hari, ketika mereka sedang berisitirahat di bawah teduhnya pohon, setelah berlari bolak-balik enam belas kali, bocah itu berkata. “Aku jadi suka berlari —wajahku bisa tampak lebih cerah dan bercahaya setelah mengeluarkan bulir-bulir keringat. Sejak berkenalan denganmu, aku selalu mengisi banyak air minumku.”
Sang pelari tampak tertarik dengan awal percakapan itu.
“Saat aku masih kanak-kanak,” jawabnya dingin, dengan punggung bersandar di pohon, sambil meluruskan kedua tungkai kakinya. “ayahku sering mengajakku lari-lari kecil di sepanjang jalan menuju lereng gunung. Sebenarnya aku akan mengikuti sebuah perlombaan Marathon. Itu sebabnya aku selalu meningkatkan latihan fisikku, dengan lari-lari, akhir-akhir ini.”
“Jadi, bolehkah aku memanggilmu lelaki Marathon?”
“Jika kamu menyukainya.”
“Aku hampir lupa, kapan lomba itu dimulai?”
Hanya jawaban pendek yang didengarnya. “Besok lusa.”
Beberapa meter dari tempat percakapan, dari dalam sungai, tiba-tiba muncul seekor ular lusuh berwarna cokelat. Ia lapar. Ia gesit, panjangnya tak lebih dari satu setengah meter, namun tak berbisa. Ketika, dalam jarak pandangnya, ia melihat betis kaki manusia itu, dengan cepat ia bergerak melewati rerumputan, lalu berhenti sejenak, dan mematuk kaki sebelah kanan sang korban. Teriakan yang sangat keras, kaki yang dihempaskan, pancing yang dilemparkan, dengan itu semua, sang korban berhasil membuat ular itu menyelinap pergi.
Percakapan itu terhenti, mereka berdua berlari ke asal suara. Lelaki Marathon segera menghampiri korban, dengan wajah cemas, memeriksa luka gigitan. Dia lalu pergi tergesa-gesa, dan tak lama kemudian, ia sudah kembali dengan menggenggam sehelai daun. Setelah menempelkan daun itu pada luka korban, lelaki itu mengangkat tubuhnya, memapahnya, dan mereka berjalan bersama-sama. Si bocah mengikutinya dari belakang, dengan tangan kanan menenteng ranjang ikan —sementara tangan kirinya membawa pancing di atas bahu kirinya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, si bungsu jatuh sakit. Cuaca yang buruk mempengaruhi daya tahannya, menjadikannya rentan terhadap penyakit; dia terserang demam dan flu. Dia melewatkan waktu berhari-hari dengan beristirahat di rumah, sementara kakaknya terus bepergian meninggalkannya sendirian, memancing ikan untuk mencukupi kebutuhan.
Sore itu (Karena adiknya sedang sakit, anak itu tak berani untuk pulang malam meninggalkannya sendirian) si bungsu segera menyambut kakaknya, ketika kakaknya sudah tiba di ambang pintu. Dengan jelas dan pelan dia berkata, “Aku ingin menyambut Kakakku, yang lantang pulang sendirian melewati hutan. Aku ingin belajar dari keberanian Kakakku, yang tetap pergi mengembara, meski ular pernah hampir merenggut nyawanya. Kakakku, apa yang membuatmu bisa mengalahkan ketakutan itu?”
Anak sulung itu mengelus rambut adiknya. “Adikku, engkau bertanya bagaimana bisa kakakmu begitu berani melewati hutan sendirian, maka aku tak bisa memberikan jawaban yang tepat, selain bahwa, ya selain bahwa aku selalu menyakini bahwa daun-daun, kuncup-kuncup bunga, pohon-pohon, tumbuhan-tumbuhan, mereka semua selalu memuji Nama-Nya, mengagungkan-Nya, setiap saat. Lantas, bagaimana bisa kakakmu ini takut kepada rimbunnya hutan, sedangkan mereka sama-sama memuji Dzat yang aku puji, yang takkan pernah kulupakan dalam hati? Aku terus berjalan kaki dengan keyakinan seperti itu hingga, dengan pertolongan-Nya, aku bisa tiba di rumah dengan selamat. Aku selalu percaya bahwa Tuhan akan selalu melihat apa yang kita kerjakan. Dia akan menolong setiap hamba-Nya, ketika mereka kesusahan atau pun ketika mereka terjatuh ke dalam jurang penderitaan, dengan rencana-rencana terbaik-Nya. Dia selalu tahu, tak ada sesuatu yang luput dari perhatian-Nya, tak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya.”
Setelah adiknya menurunkan semua barang bawaan kakaknya, dia mengajaknya untuk duduk di depan perapian. Dengan wajah malu mirip perasaan bersalah, dia bertanya, “Apakah Kakak membenci lelaki Marathon? Andai saja di lembah tidak ada orang itu, aku akan bisa duduk di sampingmu, dan mungkin juga bisa menghalau hadirnya seekor ular.”
“Aku justru menyukainya, Adikku, dia telah menyelamatkan nyawaku, dengan daun di genggaman tangannya.”
Dua hari kemudian, akhirnya si bungsu sembuh; dia merayakan kesembuhannya dengan berjingkat-jingkat sendirian, juga dengan menyanyikan lagu-lagu dengan suara paling merdunya. Selain itu, tentu saja, dia akan senang lagi saat bertemu dengan gadis penggembala domba, meskipun usia gadis itu tiga tahun lebih tua darinya.
Ketika mereka tiba di sugai kelima, si bungsu mendapati lelaki Marathon sedang berlari di atas lembah seperti biasa. Setelah dengan mudah mendapatkan persetujuan dari kakaknya, si bungsu berlari menaiki lereng curam ke arah lelaki Marathon. Tak lama kemudian, ketika si bungsu baru menaiki setengah lereng, tiba-tiba terdengar teriakan keras di bawah. Kedua orang itu segera turun untuk menghampiri sang korban. Lelaki Marathon sibuk mencari daun.
Begitu mereka berada di dekan korban, lelaki Marathon menempelkan daun pada luka di kaki kirinya, sambil mengatakan bahwa pancingnya telah patah. Sebelumnya, saat merasakan gigitan ular, anak sulung itu memukulkannya hingga patah pada binatang itu, tetapi tetap saja berakibat sia-sia—ular itu dengan cepat berhasil kabur setelah menggigit kakinya.
Seiring berjalannya waktu, kondisi kesehatan anak laki-laki itu semakin memburuk. Hingga akhirnya, sebelum tiba ajalnya, adiknya memberanikan diri untuk bertanya sekali lagi, sambil berusaha menyembunyikan isaknya. “Aku akan selalu mencintai Kakakku, dan aku akan selalu mendoakan untuk keselamatan dan kebahagiaanmu. Kakakku, maafkan jika adikmu lancang bertanya, bolehkah aku memulainya (Sang kakak mengangguk lemah). Kakakku tercinta, apakah Kakak membenci lelaki Marathon? Andai saja di lembah tidak ada orang itu, aku akan bisa duduk di sampingmu, dan mungkin juga bisa menghalau hadirnya seekor ular.”
Anak itu menegakkan bantal yang menopang kepalanya. “Aku justru menyukainya, Adikku, dia telah menyelamatkan nyawaku, dengan daun di genggaman tangannya. Adapun jika aku harus menutup mata selama-lamanya dari dunia fana ini, itu bukan salahnya, melainkan itu sudah jadi kehendak Tuhan. Dan kita semua tidak bisa menyalahkan Tuhan.”
Saat sepasang mata yang teduh itu menutup, sang adik menangis sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya.
Dari belakang, lelaki Marathon tiba-tiba berdehem dan, sementara bocah itu menoleh lalu kembali berpaling ke arah kakaknya (entah datang dari mana lelaki itu sebelumnya, menurut pikiran si bocah), mengampiri bocah yang sedang menangis itu. Mengelus-elus rambutnya untuk beberapa saat.
Keesokan harinya, lelaki Marathon berkunjung kembali ke rumah tua itu. Begitu mengetahui kehadirannya, si bungsu mendongakan kepalanya dari lamunan panjang, lalu bertanya.
“Aku selalu hampir lupa untuk bertanya,” katanya pelan. “Apakah kamu berhasil memenangkan lomba kemarin?”
Lelaki itu menggeleng. Hening tercipta sangat lama—waktu seolah membeku. Kemudian, lelaki itu menjelaskan bahwa akan ada perlombaan Marathon lagi bulan depan untuk kategori anak-anak, Half-Marathon, dengan jarak 21 km, dan setelah itu, dia menawarkan apakah bocah itu bersedia untuk berpartisipasi.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia mengangguk antusias. “Aku bersedia, tapi latihlah aku, ajari aku, di lembah itu. Selama sebulan penuh ini, aku akan siap meluangkan sebagian waktuku untuk menjalani latihan.”
Lelaki itu berdehem. “Mulai sekarang, aku akan memanggilmu bocah Marathon.”
Hingga akhirnya, apa yang diharapkan bocah itu pun mendapatkan secercah jawaban; setiap sore bocah itu berlari bersama lelaki Marathon di lembah. Menunggu, tiba-tiba, menjadi hal yang paling menyenangkan; tak hanya saat sore hari, di pagi hari bocah itu juga melatih dirinya sendiri dengan lari-lari kecil di halaman depan rumah.
Hari yang mereka tunggu-tunggu pun tiba. Bocah itu kini tengah berdiri di garis tengah. Berkacak pinggang menatap para peserta lainnya. Dalam balutan kaos merah polos, bocah Marathon itu hanya perlu berlari. Terus berlari. Saat tanda ‘start’ sudah dibunyikan, dimulailah petualangan masing-masing peserta.
Delapan puluh lima menit kemudian, perjuangan yang sebenarnya benar-benar tengah menghampiri; sambil tersengal-sengal tangan kanannya mencoba menggapai kertas panjang yang membentang di garis akhir. Dua ratus meter di depan dari tempatnya kini berlari, dia baru menyadari bahwa seorang lelaki Negro dari Kenya muncul di sampingnya dan, seperti anak panah liar yang baru dilepaskan, melesat jauh ke depan.
Apa pun yang mati seharusnya bisa tumbuh kembali, batin si bocah Marathon, aku ingin menjadi juara pertama, aku ingin membahagiakan kakakku yang telah tiada. Apa pun yang mati memang seharusnya bisa tumbuh kembali; cita-cita lama yang telah sirna, mimpi yang terhempas ke dasar jurang, kesempatan yang hanya tersisa seujung jari.
Dalam kekalutan serta kegugupan, ingatan tentang semua sesi latihan justru menyeruak ke dalam pikirannya; detik-detik yang melelahkan dan penuh rasa sakit akibat terlalu lama berlari adalah perjuangan. Hidup tidak akan menarik lagi tanpa rasa sakit, tanpa perjuangan, batinnya, perjuangan antara menyerah dan melanjutkan. No pain no gain, batinnya lagi, menyemangati diri sendiri. Melanjutkan dan menyerah —keduanya barangkali seperti hidup dan mati. Seperti para pahlawan yang berusaha mengusir penjajah; setiap dari mereka berdiri di jembatan antara hidup dan mati, menggantungkan nasibnya pada tumpuan kedua kakinya, kekuatan otot tangannya, dan kekebalan arah serta jalan pikirannya. Seandainya pijakan kaki mereka goyah sedikit lantaran lengah, atau cengkraman tangan mereka meregang lantaran tegang, atau pikirannya melamun lantaran linglung, mereka akan jatuh dari ketinggian jembatan menuju sungai. Jatuh yang benar-benar jatuh. Bukan jatuhnya orang menuju sungai melalui alam mimpi, lalu terbangun ke alam nyata di malam hari.
Tiba-tiba, seorang Negro di depannya sedikit terpeleset, pada kaki kanannya, dia kehilangan keseimbangan. Hal itu memberikan kesempatan bagi bocah itu untuk menyalipnya. Dia berhasil menyalipnya. Dia semakin memperlebar lompatan kakinya dan, tak lama kemudian, tangan kanannya berhasil menyentuh kertas panjang yang membentang itu.
Dinobatkan sebagai juara pertama Half-Marathon, bocah itu menerima hadiah baik berupa piala berukuran sedang maupun uang tunai yang barangkali cukup untuk memenuhi kebutuhan selama dua tahun. Dia terkenal, tetapi kemudian seperti menghilang begitu saja.
Tiba di rumah dengan perasaan bangga, si bocah itu segera menaruh pialanya di atas almari milik kakaknya. Lelaki Marathon minta diri sebab dia tahu diri; malam yang telah larut, capek luar biasa, membuat kedua mata bocah itu tak sanggup untuk menahan kantuk lagi. Dalam mimpinya, dia melihat kakaknya, dengan memakai pakaian putih bersih menutupi seluruh tubuh kecuali wajah, sedang tersenyum kepadanya.
Sebelum mereka berpisah, si bungsu bertanya, “Kakakku tercinta, maafkanlah karena aku hanya mempunyai pertanyaan yang selalu sama, apakah Kakak membenci lelaki Marathon? Andai saja di lembah benar-benar tidak ada orang itu, aku akan bisa duduk di sampingmu, dan mungkin juga bisa menghalau hadirnya seekor ular.”
Si sulung tersenyum, menggelengkan kepalanya. “Aku justru menyukainya, Adikku, dia telah menyelamatkan nyawaku, dengan daun di genggaman tangannya.”
Tiba-tiba, dari belakang, lelaki Marathon datang untuk mendekat ke tempat bocah itu berdiri, lalu mengelus rambutnya. Mereka semua terdiam. Sesaat kemudian, dari balik punggungnya, si sulung mengeluarkan sebuah pancing, menimbang-nimbangnya di depan mereka, dan memberikannya kepada lelaki Marathon, yang segera berjalan ke depan untuk menerimanya dengan takzim, seolah merasa diberikan tugas besar dari bupati atau presiden.
Beberapa menit kemudian, dia terbangun dari mimpi dengan perasaan bahagia luar biasa, lalu bergegas mencuci muka, dan berjalan pelan ke arah pintu depan untuk menyapu daun-daun yang berserakan di halaman depan rumah. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat jantungnya berdebar; lelaki Marathon tengah berdiri di samping pohon, wajahnya bercahaya, sorot matanya tajam seperti biasa, dengan kedua tangan yang disembunyikan di dalam saku celana samping.
“Semalam aku bermimpi tentangmu, juga tentang kakakku,” ujar si bocah pelan dan jelas, berusaha menutupi kekagetannya. “Dan kakakku dengan jelas memberikanmu pancing. Itu tandanya—“
“Tenang saja, aku bersedia untuk tinggal bersamamu dan—“
“dan kamu harus bersedia memancing ikan di sungai bersamaku, menggantikan kakakku.”
Lelaki Marathon mengangguk, lalu berjalan menghampirinya, dan mengelus rambutnya.
Bocah itu sangat senang sekali.
“Satu hal yang ingin kuketahui,” ujarnya, menatap lawan bicaranya tajam, “adalah tentang keberadaanmu selama ini. Kamu seakan dekat denganku, kehadiranmu yang tiba-tiba seringkali mengejutkanku. Di mana sebenarnya tempatmu bersembunyi?”
Lelaki Marathon hanya tersenyum, sambil mengelus rambut lebat bocah itu sekali lagi. “Itu adalah satu hal yang patut kamu ketahui. Sejak kematian kakakmu, aku selalu berada di dekatmu, selalu mengawasi rumahmu dari jarak dekat kalau-kalau bahaya datang mengancammu. Kini aku tinggal di pondok kecil di pohon besar, atau lebih tepatnya di rumah pohon. Pondok itu terletak di belakang rumahmu, berjarak sepuluh meter dari rumahmu. Aku membuat rumah itu, pada saat malam hari, saat kamu sudah tertidur lelap. Lenteranya redup, tak cukup terang, saat malam. Saat ini aku hanya punya satu rencana, yaitu mengajakmu untuk datang bersamaku melihat rumah itu, sekarang. Jadi, apakah kamu bersedia?”
Si bocah itu tersenyum kepadanya, lalu berkata. “Jika kamu menyukainya,”

Sepercik Cahaya Pembangkit Semangat

Bogor, 29 Mei 2016
Hari itu Adalah Hari Yang tak Mungkin Aku dan Keluargaku Lupakan, hari dimana Perusahaan Ayahku Bangkrut, semua Aset Perusahaan tergadaikan, Rumah, Villa, Mobil, Semua Habis dijual untuk Membayar Hutang Ayahku kepada Bank, Ibuku terus Menangis Merenungi Nasib Kami Kedepan, Aku coba Menenangkannya, tapi aku juga memikirkan Entah bagaimana caraku melanjut kan Pendidikan
Sekarang aku duduk di Bangku kelas 3 SMA, dan Sebentar Lagi Akan Kuliah, Semua teman Sebayaku Akan Melanjutkan Kuliah di Universitas ternama baik di Indonesia maupun Luar Negeri. Aku Hanya Bisa terdiam Ketika Temanku Riana Menanyakan Universitas tujuanku,
“Lin kamu mau kuliah di mana?” tanyanya
“gak tau belum kepikiran ri, aku gak mau ngebebani keluarga” jawabku
Temanku riana berkeinginan Melanjutkan Study di Salah satu Universitas terbaik di indonesia, Riana tahu keadaan Ekonomiku yang Sekarang, dia Menawarkanku untuk Meminjam Uang padanya, tapi aku Menolaknya, Alasannya Cukup sederhana Aku ingin Kuliah dengan Biaya dan kemampuanku sendiri.
Sebelum kuliah, Sehabis pulang sekolah Aku bekerja di sebuah Supermarket, Gajinya Lumayan Untuk Membantuh Ayah dan ibuku Supaya Mereka tidak terlalu terbebani dan jika ada sisanya Uang hasil kerjaku, kutabung, tak dapat kupungkiri Niatku Untuk kuliah Semakin Besar, aku Berkeinginan Menjadi Orang Sukses. Agar dapat meraih Cita-Cita kelak.
Hari Kelulusan SMA pun telah tiba, Hari itu Semua temanku datang dengan Mengendarai Mobil bersama Orangtuanya, Sedangkan aku bersama Orangtuaku pergi ke SMA hanya Menaiki kendaraan Umum walau begitu aku tidak iri sedikit pun, dengan mereka. Ketika hasil kelulusan dibacakan, Betapa terkejutnya aku ketika kepala Sekolah Mengatakan Bahwa Nilai tertinggi diraih Oleh siswa yang Bernama Elina Putri, Siswa kelas XII IPA, senang bukan kepalang ketika Aku dipersilakan naik ke atas Panggung dan Mendapatkan Penghargaan Atas Prestasi Yang kuraih, Selain itu Aku juga Berkesempatan meraih Beasiswa kuliah Di Belanda, sebuah negera indah di benua eropa, Sebelum menghadapi tes, aku Sudah mempersiapkannya dengan baik, Aku selalu Belajar mengenai Materi yang disampaikan guru dari kelas X sampai kelas XII, tak lupa Aku Berdoa dan Berserah diri kepada Allah Swt.
Hari tes seleksi Mahasiswa Baru Pun telah tiba Sebelum aku pergi untuk Melaksanakan tes, aku Meminta Doa restu dari kedua Orangtuaku.
Tes Berlangsung Cukup lama yakni kurang lebih 3 jam, Dengan Percaya diri dan Berdoa aku berhasil Menyelesaikan Soalnya tepat waktu, pengumuman bagi Siswa yang diterima akan dilakukan pada hari ke Tujuh setelah tes.
Hari silih berganti Waktu Pengumuman Pun telah tiba dengan percaya diri aku pergi ke tempat diadakannya Beasiswa Study ke Belanda tersebut, semua orang dari berbagai daerah Berdatangan untuk melihat pengumuman tersebut, nama-nama siswa yang lulus tes sudah ditempel, dengan berdesak-desakan aku melihat hasil pengumuman tersebut, betapa bahagianya aku, ketika aku melihat dari Ratusan Siswa yang ikut tes tersebut, hanya diambil 25 siswa Indonesia pilihan yang mendapat Beasiswa belajar di belanda dan namaku ada di Urutan ketiga sebagai siswa yang dinyatakan diterima di salah satu Universitas ternama di Negeri Bunga Tulip itu.
Ketika aku pulang ke rumah tangisku tak bisa lagi terbendung, aku menangis di pelukan ayah dan ibuku, sembari bersyukur kepada Allah Swt.
Hari keberangkatanku ke belanda pun tiba, ayah dan ibuku Mengantar ku Ke Bandara, sambil menangis kedua orangtuaku itu Memelukku, dan Melepasku, mereka berpesan padaku agar selalu giat belajar, dan jangan tinggalkan Sholat, setelah kurang lebih 8 jam dalam pesawat Akhirnya pesawat Mendarat dan aku sampai di Negeri Kincir Angin, negeri yang tidak pernah terlintas sedikit pun pada benakku bahwa aku akan menghabiskan 5 tahun ku disini Meraih Gelar Kedokteran.
5 tahun pun berlalu aku mendapatkan pendidikan gratis dan Uang saku ditanggung pemerintah suka duka kulalui disini kini Hari Wisuda pun telah tiba, aku berhasil meraih Gelar seorang Dokter dgn S2, bahagia haru bercampur jadi satu ketika orangtuaku datang mendampingiku ketika aku akan mengakhiri pendidikanku di Belanda, setelah Wisuda telah selesai, aku dan Orangtuaku kembali Negara yang sangat kucinta, negeri kelahiranku, negeri dimana aku dibesarkan yakni Indonesia, aku berjanji akan mengabdikan hidupku untukmu tanah airku.
Selesai
Amanah jangan pernah menyerah, jika kita berusaha dengan sungguh2 maka allah akan mempermudahkan kita, dan membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Surga Di Balik Awan Kelabu

Surya yang terbenam di ufuk barat rupanya hendak bersembunyi di balik awan karena hari sudah mulai senja. Kini saatnya bagi Toto untuk berkemas pulang membereskan peralatan kesayangannya itu. Cangkul di kanan dan jerigen air di kiri tangannya yang mungil. Toto yang setiap harinya bergelut di antara padang sawah yang luas membentang, bertahan di bawah teriknya mentari yang menyengat kulit. Namun tak mampu menyurutkan semangatnya begitu saja. Mungkin baginya sekarang hanya cangkul sebagai sahabatnya, karena hampir hari-harinya hanya bertemankan cangkul usang peninggalan ayahnya itu.
Nasib Toto berubah drastis ketika ayahnya meninggal dunia. Dahulu ayahnya adalah seorang juragan yang termasyhur di desa Tunggulpayung, paling selatan dari Indramayu. Ayahnya seseorang yang dikenal baik kepada orang lain. Namun beliau menderita sakit kanker yang cukup parah. Hartanya semakin hari semakin terkuras untuk biaya pengobatan penyakitnya tersebut. Segala hal telah ditempuh untuk upaya penyembuhan Pak Dani. Namun, rupanya Allah berkehendak lain. Pak Dani tutup usia di usianya yang ke-50 tahun. Kala itu Toto masih berusia 12 tahun, Toto masih duduk di bangku SMP. Kepergian Pak Dani rupanya meninggalkan luka yang mendalam bagi Toto dan keluarganya. Semuanya terpuruk, bagaimana tidak Pak Dani adalah sosok yang dermawan dan murah belas kasih. Bahkan, bukan hanya keluarganya yang merasakan kehilangan, tetangga-tetangga di kampung juga turut merasakan duka lekat yang dalam.
Awan kelabu menghiasi hidup Toto setelah kejadian itu, padahal Ujian Nasional akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Belajarnya pun mulai terganggu, guru-guru di sekolah Toto juga mulai menyadarinya. Toto adalah anak yang pintar, ia aktif di kelas dan juga cakap dalam bergaul dengan teman-temannya. Tetapi akhir-akhir ini seperti ada yang janggal dari diri Toto, dia sekarang lebih sering murung dan berdiam diri di kelas.
“To, kenapa kamu dari tadi diam terus. Lagi ngelamunin apa sih?” ujar salah satu temannya. Toto tersadar dari lamunannya.
“Tidak, saya tidak sedang melamun” jawabnya seolah-olah biasa saja.
“Udah jujur aja, kalau ada masalah cerita dong jangan dikubur sendiri. Nanti basi! hehe” sambil tertawa kecil. Toto memang orang yang tidak suka menceritakan hal-hal yang dialaminya kepada orang lain. Pikirnya cukup dia saja yang tahu dan merasakannya, apalagi yang dialaminya sekarang bukanlah sebuah kebahagiaan yang patut dibagi kepada orang lain.
Besok adalah hari yang paling menentukan bagi seluruh murid kelas 9, karena Ujian Nasional akan segera dilaksanakan. Sementara itu, Toto tidak terpikir untuk mempersiapkannya sama sekali. Pikirannya sudah kacau! batinnya juga dalam kondisi yang tidak stabil. Toto hanya berdiam diri di dalam kamar.
“Tok.. Tok.. Tok..!! buka pintu nak!” terdengar suara bu Darmi dari balik pintu kamar.
“Iya bu, ada apa?” jawab Toto sambil membukakan pintu kamarnya.
“Kamu sedang apa dari tadi di kamar terus?” tanya ibunya.
“Oh, saya sedang belajar bu” jawabnya berpura-pura.
“Ya sudah, belajar yang rajin ya!”. “Iya bu”. Bu Darmi pun pergi dari kamar Toto.
Pagi ini mentari terasa begitu cerah, sinarnya menyelinap dari celah-celah jendela yang tak rapat itu. Namun suasana hati Toto masih tetap mendung dan pekat. Burung-burung bernyanyi dan menyapa Toto, bertengger di atas pepohonan mangga di sekitar rumah. Namun Toto tak sedikitpun memalingkan wajahnya. Dia berjalan ke sekolah seperti tanpa jiwa, kaku seperti robot.
“Kring!” Bel masuk rupanya sudah berbunyi. Anak-anak yang lain berlarian masuk, rupanya Toto sudah sejak tadi duduk di kursinya. “Anak-anak hari ini adalah Ujian Naional, ibu berharap kalian mengerjakan soal dengan baik agar mendapatkan hasil yang memuaskan” ucap Ibu guru. “Siap! bu” jawab serentak seisi kelas itu. Semuanya sibuk mengerjakan soal yang telah diberikan, tapi masih ada saja yang saling contek-mencontek.
Hari telah lewat, rupanya besok adalah pengumuman hasil Ujian Nasional kemarin. Rasa penasaran dan gelisah yang bercampur aduk menjadi satu tengah menyelimuti semua murid kelas 9. Di pojok kelas rupanya sudah terpampang deretan nilai, semuanya berkumpul dan bergantian untuk melihat nilai mereka di papan pengumuman. Wajah mereka terlihat bahagia, dengan pipi yang merah merona. Toto pun ikut melihatnya, astaga! Toto berada di urutan paling bawah nilainya hancur! Toto sangat terkejut, dia seperti bangkit dari lamunan panjangnya itu. Dia terkejut bukan main, seperti mendapat cambukan di tengah lelap tidurnya. Toto merasa menyesal selama ini dia tidak mempedulikan semuanya. Dia hanya meratapi kesedihannya dan menyelam jauh di dalamnya. Kalau saja kemarin dia belajar, mungkin hasil yang ia dapat tidak sepahit itu. Tapi semuanya terlambat, nasi sudah terlanjur basi. Andaikan waktu bisa terulang kembali untuk beberapa hari yang lalu mungkin Toto akan belajar dengan keras.
Akhirnya, Toto tidak lulus dan memutuskan untuk berhenti sekolah saja. Alasannnya bukan hanya 1 melainkan 2, yang pertama karena memang dia tidak lulus ujian dan yang kedua semenjak kepergian ayahnya keluarganya jatuh miskin. Semua harta yang dimiliki telah habis untuk pengobatan pak Dani. Kini Toto pasrah akan semua yang telah menimpanya tersebut. Dia menjalani hari-harinya sudah bukan dengan lamunan lagi, melainkan dengan semangat yang penuh untuk menata masa depan yang lebih baik lagi. Toto tidak mau hal yang serupa akan dirasakannya kembali di masa datang. Walaupun sekarang Toto hanya menjadi anak sawah tetapi dia tetap bersyukur dan tidak putus asa.
Semilir angin membelai pepohonan perdu dengan manja, padi di sawah juga ikut bergoyang ria. Terlihat dari kejauhan seorang anak lelaki sedang mencangkul di sawah seberang, sesekali tangannya mengusap keringat yang membasahi wajahnya. Raut wajah yang lelah terlihat jelas, tangannya yang mungil terus menggerakkan cangkul itu.
“To, sudah kelar belum?” terdengar suara lelaki yang datang menghampirinya. Rupanya pak Haji sang pemilik sawah sedang menengok para pekerjanya.
“Sebentar lagi juga selesai pak” jawab Toto sambil menghela nafas sejenak dan mengusap keringatnya yang bercucuran.
“To, kamu ingin melanjutkan sekolah tidak?” ujar pak Haji. Sontak Toto kaget dengan pertanyaan itu, dengan polos dia menjawab “sebenarnya sih saya pengen melanjutkan sekolah saya pak, tapi saya tidak memiliki biaya” ujarnya dengan suara lirih.
“Kalau urusan biaya gampang, nanti bapak yang biayain sekolah kamu. Asalkan kamu sekolah yang rajin dan mau membantu bapak di sawah” ucap pak Haji tangannya sambil merangkul pundak Toto.
“Ah, yang bener pak?” tanya Toto lagi, tampaknya Toto sangat senang mendengarnya.
“Iya bener, nanti kalau pulang sekolah kamu bantuin bapak di sawah” ucap pak Haji. “Oh, siap pak!” Tegas Toto kegirangan.
Esoknya, Toto dan pak Haji mendatangi sekolah Toto yang dulu. Setelah pak Haji dan Kepala Sekolah berbincang-bincang, akhirnya Toto pun dapat melanjutkan sekolahnya kembali di SMP NEGERI 2 LELEA. Toto mengulang kembali ke kelas 9, karena tahun lalu Toto gagal untuk lulus karena nilai-nilainya buruk. Perasaan bahagia dirasakan oleh Toto saat ini, dia tidak menyangka akan melanjutkan sekolah kembali. Toto pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah didapatnya, dia belajar dengan sungguh-sungguh. Dua semester telah dilaluinya, sebentar lagi saatnya Toto kembali menghadapi Ujian Nasional. Rasa trauma memang masih tersimpan di hati Toto luka lama yang tergores masih menyisakan bekas, namun tekadnya mampu mengubur rasa traumanya tersebut.
Hari telah berganti, di bawah naungan pohon mangga di sekitar persawahan yang teduh terlihat Toto sedang asyik bercumbu dengan buku-buku sekolahnya. Dia tidak mau hasil Ujian Nasionalnya sepahit tahun lalu, dia bertekad nilainya harus memuaskan. Pagi, siang dan malam Toto Tak henti-hentinya belajar. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, tepat tanggal 4 Mei 2015 adalah Ujian Nasional hari pertama. Toto berangkat sekolah dengan tekad dan harapan yang penuh. Di sepanjang perjalanan mulut kecilnya itu tak henti-hentinya berdoa, derap langkahnya diawali dengan “bismillahirohmanirohim”.
“Kring!” Bel masuk berbunyi. Toto mempercepat langkahnya, dia tidak mau datang terlambat untuk sebuah awal perjuangannya. Toto masuk ke kelas tepat waktu, nafasnya masih tersengal-sengal. “Tok.. Tok.. Tok!” rupanya pengawas sudah tiba. “Anak-anak hari ini kalian akan melaksanakan Ujian Nasional, tolong dikerjakan dengan jujur ya!” ucap sang pengawas tadi. Toto mengerjakannya dengan sangat hati-hati, rupanya yang telah dipelajarinya kemarin keluar dalam soal-soal tersebut. Toto tidak mau ceroboh, dia memeriksa jawabannya berulang-ulang. Sampai semuanya selesai, Toto kemudian menyerahkan jawabannya ke pengawas. Toto pulang dengan napas lega, dia berharap hasil yang ia dapat tidak mengecewakan.
Di setiap malam Toto selalu bermunajat agar hasil Ujian Nasionalnya memuaskan. Besok adalah pengumuman nilai UN kemarin, Toto merasa sangat gelisah. Hari sudah terbit fajar, mentari sudah terbangun dari tidurnya. Toto bergegas untuk menuju ke sekolah, dengan langkah yang cepat dia menyusuri jalan setapak untuk sampai ke sekolahnya. Anak yang lain sudah berkumpul di papan pengumuman, melihat nilai mereka bergantian. Air mata menetes membasahi pipi Toto, luar biasa! Nilainya sempurna! Toto sangat terkejut melihat hasil UN kemarin, rata-rata nilainya 100! Berbalik 360 derajat dengan hasil ujian tahun lalu. Dengan nilai yang sempurna, Toto lulus menjadi lulusan terbaik se-Nasional. Toto mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar kota. Pak Haji pun ikut bangga dengan prestasi yang Toto raih, namun Pak Haji dan Keluarga Toto harus rela melepaskan Toto untuk melanjutkan pendidikannya di negeri orang. Kini Toto berhasil menjadi seseorang yang sukses, namun kesuksesannya itu bukanlah sesuatu yang mudah didapatnya. Toto mendapatkan cahaya kebahagiaan di balik penderitaan yang hitam. Kini Toto adalah lelaki yang mendapatkan surga di balik awan kelabu.

Keyakinan Adalah Kekuatan

Di sebuah rumah makan di pinggir jalan. Aku melangkahkan kakiku sambil membawa amplop berwarna coklat di tanganku. Amplop itu berisi surat lamaran kerja. Yah! Waktu itu usiaku baru 15 tahun. Seharusnya aku berada di sebuah ruang kelas. Belajar. Tapi, itu hanya mimpi. Karena saat itu aku harus berjuang keras untuk bisa melanjutkan hidup.
Sejak ibu memutuskan untuk menjadi TKW di Negeri Jiran, sejak saat itulah aku dan kedua saudaraku harus belajar hidup mandiri. Dalam hal ini bukan hanya sekedar mandi sendiri saja. Tapi juga mencari makan sendiri. Bisa dibayangkan anak seusiaku harus mencari makan sendiri. Lalu kemana sang ayah? Hm… Ayahku masih ada. Tapi beliau sama sekali tidak bisa diandalkan. Entah karena beliau tidak bekerja sehingga tak mempedulikan kami, atau karena memang sebenarnya beliau sudah tidak peduli. Yang jelas kami sama sekali tidak pernah mengharapkan apa-apa dari beliau. Tapi, biar begitu beliau tetap ayah kami. Orang yang harus kami hormati.
Selama ini kakakku yang pertama, sebut saja Alya, yang membiayai hidup kami. Namun sekarang dia telah menikah dan harus berhenti kerja sejak melahirkan. Sedangkan Amel, kakakku yang kedua, sudah 1 tahun sejak dia dinyatakan lulus dari sekolahnya, dia belum juga bekerja. Bukan karena tidak mau bekerja. Tapi belum ada biaya untuk menebus ijazahnya. So, mau melamar kerja pakai apa?
Beda denganku. Dengan memakai slogan Bonek. Bondo Nekat, aku memalsukan ijazah temanku. Aku pakai namanya untuk melamar kerja di salah satu rumah makan cepat saji tak jauh dari rumahku.
“Kebetulan kami membutuhkan pramusaji di sini. Jadi, adik saya terima kerja di sini”, begitulah kira-kira yang dikatakan kepala toko rumah makan itu padaku.
“Alhamdulillah… Jadi kapan saya bisa mulai kerja, Pak?”, tanyaku.
“Kalau adik siap, adik bisa mulai kerja hari ini”, kata kepala toko rumah makan HC yang ternyata bernama Heru.
“Baik, Pak! Saya siap bekerja hari ini”, kataku penuh semangat. Terbayang sudah di mataku, aku bisa melanjutkan sekolah. Tak apa kalau aku harus berhenti dulu selama setahun. Toh tak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu. Aku yakin tahun depan aku bisa melanjutkan sekolah. Seperti kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.
Aku segera menelepon kakakku Alya. Dia menangis ketika tahu aku benar-benar memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih bekerja di HC dengan penghasilan 400 ribu perbulan.
“Maafin kakak ya… Harusnya ini menjadi tanggung jawab kakak. Karena kakak sebagai pengganti orangtua kamu. Tapi kakak janji! Hanya setahun kamu berhenti sekolah. Tahun depan kamu pasti bisa sekolah lagi. Kakak janji. Tahun depan kamu akan kembali mendapatkan kehidupan kamu”, kata Kak Alya.
Aku berlinang air mata mendengar janji Kak Alya. Bagiku, dia adalah sosok malaikat yang dikirim Tuhan untuk menggantikan posisi ibu. “Iya, Kak! Nggak papa. Makasih!”.
Sejak saat itu aku yakin. Aku pasti bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Meski rasanya berat, mengingat tempat kerjaku sangat dekat dengan sekolah dimana teman-temanku belajar. Tapi aku yakin aku bisa menjalani ini semua.
“Bismillahirrahmanirrahiim… Beri aku kekuatan ya Rabb…”
Tak terasa satu bulan sudah aku bekerja di rumah makan HC. Saatnya menerima gaji. Hm… Ini adalah gaji pertamaku. Hasil dari keringatku. Bekerja dari pagi hingga malam. Meski jumlahnya tak banyak. Tapi aku tetap bersyukur. Karena setidaknya dengan uang ini aku bisa membantu Dhe Ya. Orang yang merawatku sejak ibu pergi.
Aku belikan kebutuhan dapur. Karena aku tahu gaji Dhe Ya yang hanya tukang cuci tidaklah seberapa. Apalagi dia harus memberi makan seluruh penghuni rumah. Aku, kak Amel, ayahku, dan anaknya yang bernama Silvi.
Belum lagi untuk biaya sekolah anaknya. Setidaknya dengan aku bekerja akan sedikit mengurangi bebannya. Tak lupa kusisihkan sebagian untuk menabung. Aku tahu meski biaya sekolah sangat mahal, dan tidak akan mungkin bisa aku dapatkan hanya dengan menyisihkan 50 ribu sebulan. Tapi aku yakin, Tuhan tidak akan menutup mata dengan semua usahaku.
Sudah hampir 10 bulan aku bekerja. Banyak hal yang terjadi selama aku bekerja. Bertemu dengan teman SMP saat aku menjadi kasir. Hampir saja rahasiaku terbongkar.
“Jadi, kamu pakai ijazah orang lain buat kerja disini?”, tanya Dewi. Customer sekaligus teman baikku waktu SMP.
Aku mengangguk. “Lain kali kalau mampir kesini jangan panggil aku Isa. Tapi, Rina”, kataku sambil menunjuk name tag yang menempel di dadaku.
Dewi tersenyum. “Kamu bener-bener gila. Tapi seru! Hidup kamu penuh warna, Sa! Eh, Rin! Hehehe…”, katanya di sela-sela obrolan kami. “Aku yakin kelak kamu akan jadi orang yang sukses!”
“Aamiin…”, jawabku seraya menyerahkan struk pembayaran kepadanya.
Tahun ajaran baru dimulai. Aku begitu semangat menyambutnya. Aku mulai mencari informasi dimana kira-kira sekolah yang cocok untukku. Cocok di sini maksudnya yang sesuai dengan kantong. Maklum tabunganku hanya terkumpul 700 ribu. Karena sudah mondar-mandir kesana kemari akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan ke sekolah eks Kak Amel dulu. Selain karena sudah kenal dengan beberapa gurunya, biayanya lebih murah dari sekolah swasta lainnya.
Formulir sudah di tangan. Tinggal melengkapi persyaratannya. Namun tiba-tiba Tuhan mengujiku lagi.
“Kontrakan rumah berakhir bulan ini?”, kataku histeris.
“Iya, Nduk… Kalau kita ndak bayar, kita bisa diusir. Bapakmu juga ndak bisa diharapkan. Padahal Bu Dhe udah ngasih tahu jauh-jauh hari”
Aku bingung. Lagi-lagi aku dihadapkan pada keputusan yang sulit. Membayar kontrakan rumah, atau membayar biaya pendaftaran sekolah? Oh Tuhan… Kenapa begitu berat cobaan yang harus aku hadapi di usia sedini ini? Tidak adakah jalan keluar yang lebih baik selain aku harus mengorbankan salah satu dari masalah ini?
Kak Alya mendengar kabar ini. Lagi-lagi dia yang harus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa tetap sekolah dan kontrakan rumah bisa segera dibayar.
“Aku nggak mungkin menutup mata, melihat saudara-saudaraku terlantar di luar sana. Aku nggak mungkin menutup telinga, mendengar mereka menangisi nasib malang mereka. Izinkan aku kerja pa…”, ucapnya pada Kak Wisnu, suaminya.
“Baiklah! Aku mengijinkan kamu kerja. Asalkan kamu bisa membagi waktu”
Sungguh! Tuhan telah menjawab doa-doaku. Dia kirimkan lagi malaikat untukku. Dan lagi-lagi Kak Alya adalah malaikat itu. Dia diterima kerja sebagai Staff Accounting di salah satu perusahaan swasta. Dia menjanjikan aku bisa sekolah lagi tahun ini.
“Uang yang ada sekarang kamu pakai untuk biaya daftar ulang. Sisanya akan kakak lunasi setelah kakak gajian. Kalau soal rumah biar nanti kakak yang bilang ke pemilik rumahnya untuk bisa kasih tempo sampai gajian berikutnya”
Itulah yang dilakukan malaikat bernama Alya padaku. Dalam sekali hentakan dia bisa merobohkan dua pohon yang menghalangi langkahnya. Sesuai rencana, aku melanjutkan sekolah di eks sekolah Kak Amel. Kak Alya menemui pemilik rumah kontrakan untuk meminta tambahan waktu.
Semua ini adalah rencana Tuhan. Rencana yang tidak akan bisa ditebak oleh siapapun. Dan yakinlah bahwa janji Tuhan itu pasti.
Kini aku duduk di bangku kelas XI. Selain sekolah kegiatanku yang lain adalah bekerja part time. Sepulang sekolah aku langsung bekerja. Menjaga sebuah stand makanan dengan upah Rp. 250.000,-/bulan. Setidaknya itu cukup lumayan untuk menambah uang sakuku. Sekolah sambil bekerja memang tidak mudah. Alhasil aku jadi tidak begitu berprestasi di sekolah.
Tak apa! Bukankah kebanyakan orang-orang yang sukses di luar sana adalah orang yang tidak memiliki prestasi akademik? Besar nilai rapor bukan jaminan besar gaji kan? Bahkan Eka Tjipta Widjaja, pendiri Sinar Mas Group, salah satu pengusaha finansial dan real estate di Indonesia hanya lulusan SD. Tapi sekarang dia masuk dalam urutan orang terkaya No. 3 dari 10 orang kaya di Indonesia. Hebat kan!
Begitupun aku! Suatu saat aku akan tunjukkan pada dunia bahwa aku pasti bisa sukses! Aku yakin aku bisa. Karena hanya dengan keyakinan aku bisa ada di sini dan menuliskan kisahku.
Semoga kisahku ini menjadi inspirasi buat teman-temanku agar lebih menghargai waktu. Karena waktu yang terlewat tidak akan pernah kembali. Jangan pernah menyesali waktu kemarin, karena kita masih bisa berbuat lebih baik di waktu esok! Semangat!

Jakarta Tak Seramah Mentari Pagi

Seperti sebuah jantung dalam tubuh yang bertugas memompa darah dan mngalirkannya ke seluruh tubuh. Itulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan Jakarta saat ini. Sebuah kota metropolitan yang tak pernah tidur, Jakarta menjadi bagian terpenting dalam peradaban manusia Indonesia. Kota ini menjadi pusat perekonomian Negara ini. Kiblat semua industri, dari terkecil, menengah sampai keatas. Dari dunia religi sampai dunia hiburan. Jakarta, bagiku kau memiliki dua sisi. Wajahmu terlihat gagah nan perkasa dengan ribuan gedung-gedung menjulang tinggi yang menggelitik langit. Wajahmu seperti anak yatim nan kelaparan ketika kau perlihatkan pemukiman kumuh nan kotor. Tidakkah kau sadar wahai Jakarta yang agung?, kau menjadi besar karena kedatangan kaum urban.
Menjadi kaum urban atau tetap pada zona aman? Itulah pertanyaan yang terus menghantuiku. Setelah menyelesaikan studyku di Universitas Semarang, sekarang aku harus dihadapkan dengan dunia yang sesungguhnya. Aku adalah anak kedua dari lima bersaudara. Kakak aku sudah menikah dan punya anak satu. Dia juga lulusan sarjana ekonomi, tapi dia tidak mau menggunakan ijasahnya dalam berkarir. Meneruskan usaha ayah menjadi pilihan terbaik saat ini. Dengan omset yang tidak begitu tinggi dia hanya cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya sendiri. Dan kelangsungan hidup adik—adik aku kini ada di tanganku.
Setelah dua bulan mengganggur, akhirnya aku memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Dari sebuah terminal takdirku akan diproses. Sangkakala sudah dibunyikan pertanda perang akan dimulai. Perang antara manusia dan waktu. Perang antara manusia dengan kata sabar. Setelah 8 jam perjalanan aku tiba di terminal Cibitung-Bekasi. Rasa kantuk yang masih bersemayam di mataku membuat aku tidak bisa berpikir jernih. Alhasil sebuah kardus yang berisi bekal dan dua buah celana untuk melamar pekerjaan tertinggal di bus yang tadi aku tumpangi. Ceroboh, bodoh itulah kalimat kutukan yang tepat. Aku hanya bisa bersedih dan merelakan kepergiannya. Ikhlas menjadi kata terakhir untuk bisa bangkit lagi.
Setelah cukup lama duduk di sudut terminal, kriiiing dering telepon berbunyi. Terlihat nama kakak sepupuku di layar handpondku, dengan nada yang masih pasrah aku pun menjawab telpon tersebut “hallo, mbak?” sahutku memulai percakapan. “alex, kamu sudah sampai mana?” tanyanya dengan nada yang agak panik. “sudah di terminal Cibitung mbak” jawabku. “ya sudah, tunggu disitu saja!” pintanya. Tak lama kemudian, sebuah motor supra berwarna hitam mendatangiku. Terlihat seorang pria dengan setelan jaket kulit dan celana jeans turun dari motor sambil membuka kaca helmnya dan memintaku “ayok naik! Sudah ditunggu mbak. Jannah di rumah”. Seperti kerbau dicocok hidung aku pun mengikuti perintahnya.
Kuda besi yang kami tumpangi melaju dengan kencang sampai mataku tak mampu lagi untuk melihat kedepan. Tamparan angin membuat pipiku sakit dan sesekali sambermata istilah jawa bagi binatang kecil yang sering ada di jalan menghantam mataku. Aku coba untuk mengintip depan sepeda motor, sekedar ingin tahu berapa kilometer per jam motor ini melaju. Aku kaget. Terpampang 100km/jam kecepatan motor ini. Mengetahui itu aku langsung berpegangan pada jaket kulit milik suami kakak sepupuku. Ketika memasuki tikungan terdengar ban berdecit keras. Jantungku rasanya mau copot. Aku hanya bisa merapal doa untuk keselamatan kami berdua.
Sesampainya di rumah, keramahan dan kehangatan keluarga ini mulai terasa. Mereka seperti para peri yang murah hati. “Berangkat jam berapa dari rumah?” Tanya kakakku sembari mengambil tas dan kardus dari tangan aku. “jam 8 kak” jawabku singkat. “kamu kenapa?” tanyanya dengan mata penuh curiga. Lalu aku pun menceritakan kejadian yang tadi aku alami. “ya sudah tidak apa-apa” bujuknya sambil menuntutku ke dalam rumah. Terlihat hidangan sudah tersedia di lantai yang telah dibentangkan karpet. Meskipun sederhana tapi ini begitu istimewa dan mengurangi rasa kecewaku karena telah kehilangan kardus tadi. Selesai menyantap hidangan, aku bergegas mencuci piring dan langsung bersiap-siap untuk istirahat karena besok aku harus dalam keadaan fit untuk mencari lilin harapan di sekitar kota ini.
Mentari yang ramah telah muncul dari persembunyiannya. Tapi aku tak bisa merasakan keramahan mentari pagi di kota ini bahkan merdunya kicauan burung kenari. Hanya ada kebisingan knalpot yang telah membanjiri jalanan kota bekasi. Mungkin karena inilah mentari disini tak seramah di kampung halaman. Asap pekat yang menyembur dari mulut knalpot oplet tua menjadi penyebab marahnya sang mentari. Udara pagi yang panas, pengap dan berasap.
Tiba-tiba sebuah angkutan umum mengagetkanku dengan suara klaksonnya yang cempreng. Biiibbb “ayo, naik bang!” terlihat seorang pria paruh baya dengan hidungnya yang agak miring ke kanan menawariku untuk naik ke angkotnya. Kulihat nomor seri yang ada di depan angkot, lalu aku pun masuk ke dalam angkot dan berkata “depan pasar ya bang”.
Sesampainya di pasar aku turun dan harus ganti angkot lagi dengan nomor 02. Tak berapa lama akhirnya angkot yang aku tunggu datang. Aku pun tidak sungkan-sungkan untuk langsung naik dan masuk ke dalam angkot tersebut. Sampai di perempatan aku harus turun lagi dan berganti angkot untuk ketiga kalinya sebelum akhirnya aku sampai ke stasiun bekasi kota.
Antrian panjang sudah menjadi pemandangan umum. Setalah mengantri agak lama. Tiba giliranku untuk membeli tiket kereta yang sudah didesain canggih. Wajar kalau masyarakat lebih memilih untuk naik kereta karena tiket masuk yang sudah berbentuk kartu dan harganya pun murah. Tidak hanya itu, kereta yang sudah disediakan pemerintah saat ini sudah sangat bagus, aman dan nyaman meskipun harus berdiri dan bahkan berhimpitan dengan orang lain. Aku pandangi di sekelilingku, semua orang sibuk dengan handphonenya masing-masing. Mereka asyik bermain sosmed sampai lupa nilai sosial yang sesungguhnya. Mereka yang mendapat tempat duduk tidak mau peduli dengan ibu yang sedangg hamil yang berdiri di depannya. “beginilah Jakarta” gumamku dalam hati.
Sesampainya di stasiun Jakarta kota, aku tampak seperti orang bodoh. Maklum pertama kali di Jakarta. Lalu aku berjalan ke luar dari stasiun. Sesampainya di luar, ada seorang gadis di seberang jalan yang melambai ke arahku. Aku perhatikan dengan seksama. Dia tampak cantik dengan balutan krudung warna merah yang dipadu dengan batik khas Pekalongan. Wajahnya Nampak tak asing buatku dan benar saja itu pacarku sendiri. Dia memang sudah lama tinggal di Jakarta. Berhubung aku tidak tahu arah jalan, jadi dialah yang menghampiriku. Dia benar-benar menepati janjinya untuk mengajakku mengelilingi kota ini.
Setelah berkeliling kota menggunakan busway. Aku tiba di sebuah tempat bernama mega kuningan. Aku hanya bisa melongo melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi dan jalanan yang lebar. Aku kagum. Semoga saja gedung-gedung ini bukan menjadi sysmbol dari kesombongan kota ini. Perjalanan kami terhenti di sebuah gedung “the east” karena gedung inilah tempat kami akan melakukan test dan interview. Katro dan ndeso itulah ungkapan untuk kami saat ini. Yah, karena kami memang dari ndeso masuk ke lift aja tidak bisa dan harus dibantu oleh satpam. Agak malu si, tapi cuek ajalah.
Ting, bunyi lift menandakan sudah sampai ke lantai 15. Kami pun ke luar dan bersegera masuk ke sebuah ruangan yang ada di ujung lorong gedung. 2 resepsionis menyambut kami dengan tawa genit dari mulutnya yang tipis. Terasa gigitan semut di pinggangku karena cubitan dari pacarku. “ada yang bisa aku bantu?” tanyanya lembut penuh keramahan. “kami ada panggilan interview disini mbak”. Jawabku sambil menyerahkan cv kami berdua. Lalu kami duduk menunggu untuk bertemu dengan HRD.
Setengah jam menunggu, akhirnya kami mendapat kesempatan untuk interview. Sedikit grogi. HRD mulai bertanya ini dan itu. 10 menit berlalu akhirnya interview selesai. Tahapan selanjutnya adalah psikotes. Kami masuk ke dalam ruangan yang berisi penuh dengan komputer. Disitulah kami mengerjakan psikotes. 2 jam lamanya kami mengerjakan soal yang menerutku tidak begitu penting dan kini kami harus menunggu untuk dipanggil ulang apakah kami layak untuk bekerja atau tidak.
Jam menunjukkan pukul 3 sore. Kami harus pulang. Di depan stasiun kami berpisah. Dia harus pulang naik angkutan umum dan aku harus naik krl dan masih berlanjut naik angkutan sebanyak 3 kali. Sungguh malang nasibku. Ketika sampai di pasar bantar gebang, aku tidak lagi menjumpai angkutan yang akan membawaku sampai depan perumahan. Aku harus berjalan kaki sepanjang 3 km sampai akhirnya aku menjumpai angkutan yang aku cari. Cukup lelah juga berjalan sejauh itu.
Berminggu-minggu pergi-pulang bekasi–Jakarta kota tapi belum juga mendapat pekerjaan yang aku inginkan. Aku jadi teringat akan lagu yang diciptakan iwan fals yang berjudul “sarjana muda” lagu yang menggambarkan seorang sarjana yang mencari pekerjaan untuk bisa menyenangkan hati ibunya. Hati ini sperti tersayat pisau. Sakit. Hanya bisa menahan agar sakit ini tidak terlihat dari luar.
Setalah genap 1 bulan, aku akhirnya memutuskan untuk pulang kampung dan meminta maaf kepada ibu karena tidak bisa menjadi apa yang diharapkan. Aku putus asa. Jakarta tak seramah mentari pagi dan tak seindah kicauan kenari.