Senin, 02 Januari 2017

Aku Dan Sejuta Mimpiku

Bermimpilah kamu setinggi-tingginya, karena saat kau terjatuh setidaknya kamu terjatuh di antara bintang-bintang
“ah.. mengada-ngada. Apa hubungannya impian yang ditulis di kertas dengan terwujudnya sebuah impian?” pikirku saat melihat tayangan di televisi yang menganjurkan menulis semua impian agar bisa cepat terwujud.
Tapi beberapa bulan yang lalu, saat aku semester satu saat aku masih kost di pesma Aisyah. Aku menuliskan impian-impianku. Hal ini bermula karena saat itu ada acara mentoring, kalau tidak salah temannya adalah Mewujudkan Impian Dengan Segenggam Semangat. Setelah pementor memberikan cerita-cerita yang memotivasi, kami pun dibagikan secarik kertas, dan kami diminta untuk menuliskan impian-impian kami. Tanpa pikir panjang kami segera menuliskan impian-impian kami, khususnya yang ditargetkan untuk tahun ini.
Semua anak sibuk memikirkan dan mencatat impian masing-masing. Aku ingat saat itu impian terbesar dan terdekatku yaitu. Aku ingin mondok. Impian itu ku tulis di nomor satu dan dengan tulisan yang paling besar. Dan diikuti dengan impian-impian lainnya. Setelah itu secarik kertas itupun aku tempel di pintu almari baju, agar aku selalu ingat dengan mimpi-mimpiku, dengan mengingat mimpi-mimpiku itu aku bisa lebih bersemangat untuk belajar agar dapat mewujudkannya, itulah tujuannya.
Aku fokus memikirkan impianku untuk mondok, aku sempat berfikiran akan kuliah sambil bekerja. Bekerja mengumpulkan uang agar semester 2 nanti aku bisa mendaftar mondok. Yaa… karena alasanku tidak mondok karena orangtua yang khawatir tidak mampu membiayai kehidupanku di pondok. Aku ingat betapa hancurnya perasaanku saat itu, saat orangtuaku tidak mengijinkanku untuk mondok. Aku sedih, kecewa bahkan aku sempat mengurung diri di kamar dan tidak mau berbicara dengan siapa-siapa. Aku hanya menangis dan menangis. Hingga akhirnya ibuku pun tak tega melihat aku dengan keadaan seperti itu, selalu keluar kamar dengan mata yang sembab. Ibuku pun menghampiriku dan mengatakan,
“ya udah nanti kamu mondok ya… tidak usah bilang-bilang sama bapak, biar ibu yang membiayaimu. insyaAllah pasti ada rejeki”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya tersenyum. Sungguh seakan dunia ini begitu indah, ibu memang selalu mengertikanku. Kesedihan telah berganti dengan kebahagiaan. Namun ternyata itu hanya kebahagiaan sesaat. Beberapa hari setelah itu kakaku yang nomor 2 menghampiriku.
“mau mondok nok?”, tanyanya lemah lembut.
“iya. Ibu udah memberi izin”.
“beneran mau mondok?. Apa kamu akan tetap mondok sedangkan bapak tidak mengijinkanmu. Iya mungkin ibu tak memebri tahu bapak, tapi apa iya anaknya mondok tapi bapaknya tidak tahu. Asal kamu tahu sebenarnya ibu terpaksa mengizinkanmu mondok, karena ibu tidak tega melihatmu terus-terusan bersedih. Percuma kamu mondok kalau bapak tidak merestui, ilmunya tidak akan bermanfaat” katanya begitu tegas.
Aku kembali tercengang… butiran bening itu kembali membasahi pipiku. Ah.. aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Kakaku pun keluar dari kamarku. Aku kembali menangis, aku merenung. Apa yang dikatakan kakkakku ada benarnya juga, untuk apa aku mondok kalau tak mendapatkan restu, sedang di sana aku akan mencari ilmu. Tanpa restu dari orangtua mana mungkin aku bisa berhasil.
Dan akhirnya aku pun tidak jadi mondok dan malah ngekost.
Beberapa bulan kemudian impian terbesarku untuk mondok akhirnya bisa terwujud. Hal ini bermula karena aku mendapatkan beasiswa BIDIKMISI. Seleksi BIDIKMISI di kampusku memang berbeda dengan kampus yang lain, seleksi BIDIKMISI baru dilaksanakan setelah aku sudah diterima menjadi mahasiswa STAIN Pekalongan.
Untuk mendapatkan BIDIKMISI pun bukanlah hal yang mudah, aku harus kesana-kesini untuk melengkapi semua persyaratannya. Lelah.. memang lelah, tapi aku tetap bersemangat, meski di sana tertulis hanya ada 10 kuota. Tapi aku tetap berjuang, karena aku punya keyakinan aku bisa mendapatkannya. Dan dengan mendapatkan BIDIKMISI maka aku bisa mondok. Ya.. mondok. Impian terbesarku. Meski pada saat pengumpulan berkas aku sempat down, dan enggan untuk mendaftarkan diri. Masalahnya spele, hanya karena snelhekternya salah. Dan petugasnya mengatakan “saya bisa menerimanya, tapi saya tidak menjamin anda akan lolos seleksi”.
Aku sudah menyambangi satu fotokopian ke photocopyan lainnya, namun snelhecter warna hijau yang sesuai dengan permintaan pihak akademik tidak ada. Ini yang membuat aku ngedown. Aku pun pulang ke kost dengan lemas tanpa semangat.
“bagaimana Nay? Udah dikumpulin berkasnya?”, tanya mba Purti si Umi kost.
“belum mba. Aku tidak jadi mengumpulkan lah mba.. males”
“kenapa?”
Aku pun menceritakan apa yang terjadi.
“ya Allah Nay, perjuanganmu tinggal selangkah lagi loh. Apa nggak sayang, dari kemarin kamu udah susah payah, udah bolak balik pekalongan-comal. ayo semangat, masa hanya gara-gara itu kamu nyerah begitu aja. Emang terakhir ngumpulinnya kapan?”
“besok”
“nah itu masih ada waktu. Yaudah nanti kalau opy pulang minta antar Elsa untuk mencari snelhekter ya”
Kata-katanya menyadarkanku, dan membuatku kembali bersemangat. Aku ingat bahwa yang berjuang dalam hal ini bukan hanya aku, kakkaku bahkan sampai bersusah payah ke Pemalang, kantor catatan sipil untuk melegalisir KK, padahal jarak dari rumah itu lumayan jauh sedangkan siangnya kakkaku harus bekerja. Akhirnya akupun kembali mencari snelhekter dengan diantar mba Elsa. Dan perjuangan kami pun membuahkan hasil, kami berhasil mendapatkan snelhekter.
Dan ternyata di photocopyan depan gang ada, tapi entah kenapa justru tempat itu yang terakhir aku sambangi, padahal itu yang paling dekat dengan kostanku. Tapi ada hikmahnya juga si, dengan mencari dari satu photocopyan ke photocopyan lainnya aku melihat selebaran yang berisi tentang pengumuman akan ada ust. Yusuf Mansur di Masjid alun-alun Kota Pekalongan, dalam rangka peresmian Yayasan Al-Maliki.
“mba El.. mungkin ini tujuan Allah. Allah ingin menunjukkanku selebaran ini. Makanya Allah mengantarkanku berkeliling mencari snelhekter padahal yang dekat ada”. Ucapku sambil mengeluarkan selebaran dari tasku
“iya Nay. Udah gak sedih lagi kan. Hehee” jawab mba Elsa sambil meneguk air, ia terkihat begitu capek.
“iya mba El, subhanallah semua memang ada hikmahnya ya mba El, aku nyesel udah su’udzon sama Allah. Makasih ya mba el udah mengantar aku. Padahal tha mba El masih capek, baru pulang kuliah tapi udah direpotin sama aku. hehe”.
“iya sama-sama. Santai aja Nay”.
Dan keesokan harinya akupun mengumpulkan berkas-berkas itu.

1 komentar: