Tak pernah terpikirkan oleh ku akan sayap yang dulu telah patah. Aku
bahkan tak pernah bisa memperbaikinya. Bahan-bahan yang biasa aku pakai
untuk memperbaiki, kini telah hilang seperti debu yang ditiupkan angin.
Sayap itu.. arrrghhhh.. Aku begitu bodoh dan sangat bodoh. Bagaimana
mungkin aku bisa mematahkannya? Apa yang harus aku perbuat lagi
sekarang? Siapa lagi yang harus aku minta tolong?
Kini, aku tak tahu harus berbuat apa. Bingung, galau, dan stress saja
yang aku rasakan sepanjang hari. Aku begitu bodoh dan idiot. Sepertinya
aku tidak akan memaafkan diriku lagi yang dulu.
Dan yang lebih parahnya lagi, seseorang yang mempunyai sayap yang patah
itu telah pergi meninggalkan aku dengan rasa kecewa yang teramat dalam.
Dia berlari, dan aku ingin mengejarnya. Tapi, kaki ku ini bahkan tidak
bisa berlari. Tangan dan mulut ku juga tidak bisa menghentikannya.
Seakan-akan, anggota tubuhku mendukung akan semua keputusannya. Ya,
berlari meninggalkan aku sendiri disini.
Jarum jam pun terus berputar. Berputar dari jam 9 malam dan kembali
lagi. Jam 9 merupakan waktu aku mematahkan sayapnya yang indah. Sayap
putih yang membantunya dapat terbang ke istana, tempat perteduhannya.
Namun, dia tidak bisa kembali lagi.
Aku ingin menemuinya dan ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang
aku perbuat. Tapi, kemanakah aku harus mencarinya? Aku sudah berusaha
mencari dengan sayapku ini. Dan hasilnya, tidak ada jejak satu pun yang
aku dapatkan.
Aku merasa gundah gulana. Pikiranku kosong dan hampa. Bahkan kaki dan
tanganku ingin berbicara bahwa tidak ada harapan lagi untuk menemuinya.
Namun, hanya sayapku saja masih ingin terus mencari dan mencari.
Perjalanan untuk mencari cintaku yang telah lama pergi ini sungguh
sangat memakan waktu dan tenaga. Dan jam pun berputar lagi ke arah 9.
Membuat aku meneteskan air mata yang bercucuran di atas sayapku.
Mengingat akan kejadian itu, serasa sangat berbekas dan sangat menusuk
sampai ke organ tubuhku yang paling dalam.
Hanya angin dan air mata yang menjadi makanan dan minumanku setiap hari.
Hanya sayapku ini saja yang menjadi sahabat sejatiku. Semua tubuhku
dari ujung rambut sampai ujung kaki seakan sudah menjadi musuh bebuyutan
ku. Terasa sangat capek dan gundah yang aku rasakan.
Langit dan pepohonan sudah menjadi teman penghiburku. Saat ini yang
aku butuhkan cuman dia. Hanya dia sajalah, aku ingin bertemu dan meminta
maaf atas semua yang telah terjadi.
Utara sampai selatan pun aku sudah mencari. Bahkan timur dan barat pun
berkata dia tidak ada disini. Lalu, kemanakah aku harus mencari? Ya
Tuhan! Bantulah aku untuk mencari dia. Aku sudah capek. Aku hancur. Aku
stress. Ingin rasanya aku mau mati. Dan melupakan akan semuanya ini. Aku
tak tahu dan tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Dimanakah dia? Sedang
apakah dia? Apakah dia sedang bersedih? Ataukah dia sedang bahagia?
Apakah dia sedang mencari seseorang untuk memperbaiki sayapnya yang
patah?
Jika memang dia sudah mendapatkan orang yang telah memperbaiki sayapnya
yang patah, aku tidak peduli. Aku pasrah akan semuanya ini. Lagipula,
dia sudah bergembira dengan orang itu.
Saat ini, aku hanya ingin menemuinya hanya sekali ini saja. Walaupun
ini sangat berat bagiku untuk melepaskannya. Namun, aku ingin menemuinya
dan hanya meminta maaf atas semua ini. Aku hanya ingin memberikan
kepada dia mawar merah yang aku bawa setiap hari sebagai tanda
permohonan maafku. Aku sangat ingin menemuinya. Tak peduli apapun yang
dirasakannya saat ini. Aku hanya ingin melihatnya walau hanya sekali.
Ya, cuman sekali ini saja.
Rasa letih ku ini seakan telah datang bergerombolan tanpa diundang.
Rasa berat telah membebani tubuhku yang telah rapuh ini. Seakan masa
mudaku telah berlalu dengan sangat cepat. Tapi, sayapku masih sangat
kuat untuk mencari dan terus mencari akan keberadaan cintaku.
Jikalau dia mendengar akan suara kerapuhanku ini. Dan jikalau dia
merasakan akan apa yang dirasakan olehku yang sedang gundah gulana ini,
tanyaku apa yang akan dia lakukan?
Hari demi hari telah aku lalui dengan penderitaan yang sungguh sangat
menyiksa. Jarum jam pun kembali lagi ke angka 9. Angka yang membuatku
putus asa ketika melihatnya. Jam 9 merupakan awal semua ini terjadi.
Sayap yang patah telah lama pergi. Meninggalkan aku sendiri. Hanya air
mata yang setiap hari dirasakan oleh pipiku.
Aku pun beranjak dari petiduranku dan kembali mencari dia. Kata maaf
pun sudah sangat aku hafal. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah dimana
keberadaan dia? Orang yang selama ini ku cari? Dan mungkin hanya 30
detik saja aku ingin berbicara. Dan setidaknya, penderitaan yang
menyiksa ini dapat aku bunuh dengan sebuah permohonan maaf dan sebatang
mawar merah.
Hidup ini… ah, dimanakah dia? Aku seperti orang kebingungan. Yang
bertanya kepada rumput dan pepohonan. Dan mereka tahu tapi tidak ingin
memberitahu. Ingin marah rasanya diriku terhadap mereka.
Aku terus mencari dan mencari. Tanah yang aku pijaki ini juga terasa
sudah sangat bosan melihat wajah aku. Aku tidak tahu bagaimana rasanya
roti dan segelas teh hangat lagi. Sayapku berbicara kepadaku bahwa ia
ada di depan sana. Kejarlah! Namun, kaki ini tak bisa untuk berlari
lagi. Sama seperti kaki buyut yang akan segera lisut.
Aku pun sampai di garis akhir hutan yang sangat rindang ini. Ku temukan
sebuah jalan yang amat sepi. Seperti jalan berhantu, dan tak ada
kendaraan yang melintasi. Jalan yang sangat misterius namun kakiku tetap
melangkah atas perintah sayapku.
Aku pun berjalan menyusuri jalan ini. Mentari akan segera tenggelam.
Dan aku merasa sangat takut akan jarum jam yang akan berputar lagi ke
arah jam 9. Angka yang membuat aku setiap hari menitikkan air mata yang
mengalir ke pipiku ini. Mengingat akan semua kejadian yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya. Sayap yang patah itu kini telah lama pergi.
Pergi ke tempat yang aku tidak tahu dimana. Pergi ke sebuah negeri yang
sangat jauh. Yang mungkin akan sampai dalam waktu 100 tahun.
Aku pun berteduh sejenak memikirkan akan semuanya ini. Apakah hanya
sebatang mawar merah dan permohonan maaf saja yang akan kuberikan?
Apakah dia akan memaafkanku? Ah.. tidak.. Hal seperti itu bahkan tidak
boleh terbayangkan di dalam benakku. Aku harus percaya diri akan
semuanya ini. Melihat wajahnya saja, mungkin saat itulah penderitaanku
akan hilang. Walau wajahnya pada saat itu terlihat penuh sekali
kebencian.
Jarum jam pun kembali mengunjungi angka 9. Aku merasa angka itu terus
tertawa kepadaku. Dan berkata, “Kamu tidak mempunyai harapan lagi
bertemu dengan dia. Dia sudah mengunjungi orang lain. Dan orang itu
sudah memperbaiki sayapnya yang patah. Kembalilah ke asalmu. Carilah
orang lain. Tidak ada harapan lagi bertemu dan meminta maaf kepada dia”
Aku ingin tidur. Tidur di dalam keterpurukan hidupku ini. Tidur dan
melupakan akan apa yang aku perbuat selama ini. Adakah orang lain yang
ingin memberikan kepadaku selimut kegembiraan? Yang membuat aku kembali
ceria seperti dulu?
Matahari mulai menunjukan wajahnya yang berseri kepada dunia. Aku pun
belum tersadar. Namun, yang aku rasakan adalah kehangatan pelukan
matahari yang membuatku tersadar saat itu.
Jarum jam kembali lagi ke angka 9. Dan kini saatnya aku terbangun
dari tidurku yang sangat pahit. Tapi, yang aku lihat adalah sebuah rumah
yang amat besar dan aku pun di dalam rumah ini. Aku pun bergegas bangun
dan membuka kamarku dengan rasa heran.
Aku melihat banyak orang yang sangat sibuk mengurusi rumah itu. Rumah
yang sangat megah bak istana langit. Aku pun terkejut pada saat ada
seseorang yang datang menghampiriku. Seorang wanita yang berparas cantik
nan anggun. Bergaun merah jambu dan bersepatu kaca. Rupanya dia sudah
mempunyai anak, namun kecantikkannya masih tetap terjaga.
Dia menghampiriku dan berkata, “Orang yang ingin kamu temui, sudah
sangat lama menunggumu di taman belakang rumah. Segeralah menemuinya.
Dialah yang menemukanmu terkapar di pinggir jalan ketika dia baru pulang
dari tempat persembunyiannya. Dialah yang telah merawatmu selama 3 hari
kamu tidak sadarkan diri. Badanmu sangat lemas dan kamu jatuh sakit.
Tapi, sekarang kamu sudah baikkan. Segeralah menemuinya!”
Keheranan pun tampak di wajahku. Apa yang dimaksudkannya? Orang yang
telah merawatku? Siapa dia? Apakah…? ah tidak. Aku tidak boleh membuat
kesimpulan secara sembarangan.
Aku pun segera mengganti pakaianku yang sudah sangat kusut dan kusam
yang telah mereka sediakan buatku. Kemeja putih dengan stelan jas hitam
yang mewah dan berdasi. Seakan hari ini adalah hari spesial buatku.
Wewangian yang aku pakai juga semerbak harum bunga di padang. Sangat
khas beraroma lelaki. Dan semua yang aku pakai ini juga, sepertinya
semua orang di dalam rumah ini sudah mengetahui akan apa yang aku sukai.
Sebatang mawar merah pun aku sisipkan ke dalam saku jas yang aku
kenakan.
Makanan dan minuman yang mereka sajikan juga sangat tepat dengan apa
yang aku sukai. Steak sapi dengan sepiring nasi dan jus avocad merupakan
makanan yang sudah 3 minggu aku tidak pernah rasakan.
Matahari telah menunjukkan keperkasaanya. Dan tak lama kemudian, ia
seakan malu dan ingin tidur di tempatnya. Seorang lelaki berpakaian
pelayan ala restoran datang menghampiriku untuk segera menemui seseorang
yang telah menolongku ini.
Aku pun pergi dengan rasa ingin tahu. Siapakah dia? Kaki yang lemah
waktu itu, sekarang bagaikan kaki seorang anak kecil yang hanya ingin
berlari kesana kesini.
Pintu belakang pun aku buka. Dan terlihat seorang wanita bergaun
hijau padang rumput dan bersepatu hitam pekat sedang duduk di sebuah
ayunan yang membelakangiku. Terlihat aku sangat mengenal wanita itu.
Terlintas di dalam pikiranku bahwa, apakah ini dia? Apakah dia, orang
yang selama ini aku cari?
Langkah kakiku sangat pasti. Sayapku berbicara kepadaku bahwa inilah
dia. Namun, aku tak percaya atas kejadian ini. Mungkin saja orang ini
memintaku untuk berterimakasih kepada dia karena sudah menolongku.
Semakin sampai ke tempat ayunan itu dan aku pun memberanikan diri untuk
memegang pundaknya. Tanganku akhirnya mendarat di pundaknya dan orang
itu membalikkan pandangannya kepadaku.
Senyuman yang terpancar dari wajahnya dan air mata yang ia teteskan,
bersamaan dengan kata permohonan maaf ku yang selama ini aku
mengingatnya dan bahkan menghafalnya.
Dia pun berdiri melihat wajahku, dan aku hanya menunduk bahkan sampai
berlutut untuk mengucapkan permohonan maaf atas sayapnya yang telah
patah. Dia pun ikut berlutut dan berkata, “Ayo, bangunlah jangan
bersedih. Hapuslah air matamu dari wajah tampanmu itu”.
Tapi, aku segera meraih tangannya dan berkata, “Geisha, terimalah
permohonan maafku ini. 3 minggu aku mencari kamu dan hanya ingin meminta
maaf atas semua yang telah terjadi. Hatimu itu, aku sudah menganggapnya
sebagai sayap yang selalu terbang ke negeri hatiku ini. Aku mencarimu.
Bahkan angin dan air mataku ini menjadi makananku siang dan malam. Aku
meminta maaf atas semuanya ini. Kejadian waktu itu. Ya, kejadian yang
membuat sayapmu ini patah, sampai aku tidak bisa memperbaikinya, aku
sangat meminta maaf. Hubungan aku dan Yeni hanyalah sebatas teman. Aku
tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Tidak ada orang ketiga di dalam
hubungan kita berdua. Hanya aku dan kamu seorang. Hanya kamulah yang aku
punya. Hanya kamulah bidadari ku yang paling menawan. Percayalah
padaku. Maukah engkau memaafkanku?”
Geisha pun segera memelukku dan berkata, “Aku sangat mencintaimu.
Sungguh sangat mencintaimu. Kesalahanmu yang dulu, kini aku sudah
maafkan. Mulai sekarang aku akan mempercayaimu. Aku sempat bersedih
ketika melihat kamu tertidur di jalan seperti orang sakit. Aku membawamu
ke sini dengan air mata yang berlinang. Aku berusaha membangunkanmu.
Namun, hanya namaku dan permohonan maafmu yang hanya aku dengar. Aku
mengerti sekarang akan cintamu yang begitu tulus kepadaku. Aku sangat
mencintaimu. Sungguh sangat cinta”.
Terasa sangat dingin dan haru yang aku rasakan. Air mata aku dan Geisha
pun mengalir secara bersamaan. Aku pun menghapus air mataku dan air
matanya dan berbicara kepadanya, “Trimakasih sayang. Aku sungguh sangat
mencintaimu. Kini, penderitaanku telah hilang setelah melihatmu dan kata
cinta dari mulutmu. Mungkin, bunga mawar ini aku berikan sebagai tanda
akhir bahwa aku tidak lagi menyakiti perasaanmu. Ku mohon terimalah!”
Dan Geisha pun kembali tersenyum dan mengambil mawar dari tanganku serta
berkata, “Marilah ke dalam. Aku sudah menyiapkan pesta buatmu. Kamu
tahukan, hari ini adalah hari jadian kita berdua. 14 Februari bertepatan
dengan hari kasih sayang. Aku membuat semuanya ini agar kamu tidak
terus-terusan lagi meminta maaf kepadaku. Karena aku sekarang sudah
sadar, bahwa cintamu kepadaku sungguh sangat tulus. Marilah kita
berpesta di dalam. Terimakasih juga buat bunga mawar yang indah ini.”
Geisha pun segera menarik tanganku dan membawaku ke dalam untuk berpesta. Sangat ramai di rumahnya saat itu.
Aku tahu sekarang, bahwa cinta sejati yaitu rela mengorbankan
segalanya. Jam sudah menunjukan pukul 9. Angka yang dulunya aku takuti,
kini telah menjadi kebahagiaan buatku. Aku menatap jam 9 dan berkata,
“Aku telah menang. Ternyata, harapan akan selalu ada bagi orang yang
selalu mendambakannya. Sekarang kamu hanyalah sebuah angka yang tidak
pantas menyakitiku lagi. Teruslah berputar dan jangan coba-coba
membuatku memikirkan hal yang pahit itu lagi. Teruslah berputar maka aku
dan Geisha sampai ke acara kebahagiaan dan sampai maut yang memisahkan
kami.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar