Not a leaf falls but that He knows it.
(Quran, Al-An’am, 6:59)
Dahulu, di awal abad ke-20, di tengah sebuah desa yang terpencil di
Inggris, hiduplah seorang anak laki-laki yang gemar berkelana dan
memancing ikan di sungai. Dia memiliki seorang adik laki-laki berusia
sepuluh tahun —lima tahun lebih muda darinya— yang selalu menemaninya ke
mana pun dia pergi. Di mana pun tempat lelaki itu memancing ikan,
adiknya akan selalu menyertai dengan duduk tenang di sampingnya.
Terkadang anak bungsu itu akan memiringkan kepalanya pada lengan
kakaknya saat dia sudah merasa mengantuk atau bosan karena menunggu,
sambil sesekali berusaha menerka-nerka pikiran kakaknya; lalu beberapa
menit kemudian, dia akan menegakkan kepalanya lagi, untuk menanyakan
menu makan malam, untuk menanyakan apakah kakaknya sudah lapar, atau pun
untuk mengamati kondisi sungai. Mereka tak pernah menghabiskan waktu
dengan memancing di satu sungai saja dalam waktu sehari; mereka akan
selalu pergi dari sungai pertama ke sungai lainnya. Kebiasaan itu justru
membuat mereka mendapatkan banyak ikan, membuat ranjang yang ditenteng
adiknya menjadi lebih berat. Sepanjang perjalanan, hati mereka
senantiasa gembira karena bisa menemui dan mengobrol dengan banyak
orang; mereka gembira saat bertegur sapa dengan seorang petani, mereka
gembira saat bertegur sapa dengan kawanan pemburu ular di hutan, mereka
gembira saat bertegur sapa dengan seorang bocah pencari kayu, mereka
gembira saat bertemu seorang gadis penggembala domba.
Siang itu ketika sang kakak sedang duduk memancing ditemani adiknya
di sampingnya, dari sungai—sungai kelima yang sedang mereka singgahi, si
bungsu tiba-tiba berteriak untuk memberitahu kakaknya mengenai apa yang
sedang dia lihat; di lembah, di atas sungai, dia melihat seorang pemuda
berperawakan tinggi sedang berlari secara bolak-balik dari pohon satu
ke pohon kedua. Jarak antara keduanya lima belas meter. Selama
bertahun-tahun mereka mengelana, belum pernah mereka jumpai sosok
seperti itu. Pemuda itu berusia dua puluh satu tahun; dia telah
berhari-hari menjalani olahraga, terutama berlari, untuk mempersiapkan
diri menghadapi lomba Marathon yang akan diikutinya. Setelah adiknya
memutuskan untuk menemui pemuda itu, anak berusia lima belas tahun itu
kini duduk sendirian —menikmati kesendirian. Sesekali katak-katak
berlompatan di tepi sungai; mereka berlombatan, mereka melirik tajam
keadaan, mereka bersembunyi. Menyembunyikan diri di balik batang tanaman
atau pun di samping bunga-bunga pendek dan tebal yang bermekaran.
Sambil tak henti-hentinya mengedarkan lirikan tajam pada pemancing itu.
Kemudian, saat senja akan melambaikan tangan berpamitan pergi, saat
malam mulai memperkenalkan warna gelapnya, saat bintang-bintang dan
bulan perlahan bermunculan menerangi jalan, mereka bergegas pulang
menyusuri tebing-tebing curam, melewati desa-desa tenteram, dan
rumah-rumah yang sunyi. Sepanjang perjalanan pulang, bocah berusia
sepuluh tahun itu merengek kepada kakaknya, memintanya untuk berhenti
istirahat sejenak di pondok milik seorang petani. Kaki-kaki kecilnya
sudah tak kuat lagi menapaki jalanan.
Tiba di rumah malam hari, dengan antusias mereka segera membakar
ikan-ikan di halaman belakang, ditemani oleh semilir angin malam yang
menerbangkan helai rambut, suara jangkrik yang menentramkan telinga,
gemerisik daun-daunan yang sesekali terdengar menakutkan.
Lama-kelamaan, hubungan antara bocah kecil dengan seorang pelari itu
semakin dekat. Mereka berdua sudah tampak akrab sekali. Bahkan, setiap
kali dia dan kakaknya tiba di sungai kelima, dia selalu meminta izin
kepada kakaknya untuk menghampiri pelari itu dan ikut berlari
dengannya—meninggalkan kakaknya memancing sendirian.
Suatu hari, ketika mereka sedang berisitirahat di bawah teduhnya
pohon, setelah berlari bolak-balik enam belas kali, bocah itu berkata.
“Aku jadi suka berlari —wajahku bisa tampak lebih cerah dan bercahaya
setelah mengeluarkan bulir-bulir keringat. Sejak berkenalan denganmu,
aku selalu mengisi banyak air minumku.”
Sang pelari tampak tertarik dengan awal percakapan itu.
“Saat aku masih kanak-kanak,” jawabnya dingin, dengan punggung bersandar
di pohon, sambil meluruskan kedua tungkai kakinya. “ayahku sering
mengajakku lari-lari kecil di sepanjang jalan menuju lereng gunung.
Sebenarnya aku akan mengikuti sebuah perlombaan Marathon. Itu sebabnya
aku selalu meningkatkan latihan fisikku, dengan lari-lari, akhir-akhir
ini.”
“Jadi, bolehkah aku memanggilmu lelaki Marathon?”
“Jika kamu menyukainya.”
“Aku hampir lupa, kapan lomba itu dimulai?”
Hanya jawaban pendek yang didengarnya. “Besok lusa.”
Beberapa meter dari tempat percakapan, dari dalam sungai, tiba-tiba
muncul seekor ular lusuh berwarna cokelat. Ia lapar. Ia gesit,
panjangnya tak lebih dari satu setengah meter, namun tak berbisa.
Ketika, dalam jarak pandangnya, ia melihat betis kaki manusia itu,
dengan cepat ia bergerak melewati rerumputan, lalu berhenti sejenak, dan
mematuk kaki sebelah kanan sang korban. Teriakan yang sangat keras,
kaki yang dihempaskan, pancing yang dilemparkan, dengan itu semua, sang
korban berhasil membuat ular itu menyelinap pergi.
Percakapan itu terhenti, mereka berdua berlari ke asal suara. Lelaki
Marathon segera menghampiri korban, dengan wajah cemas, memeriksa luka
gigitan. Dia lalu pergi tergesa-gesa, dan tak lama kemudian, ia sudah
kembali dengan menggenggam sehelai daun. Setelah menempelkan daun itu
pada luka korban, lelaki itu mengangkat tubuhnya, memapahnya, dan mereka
berjalan bersama-sama. Si bocah mengikutinya dari belakang, dengan
tangan kanan menenteng ranjang ikan —sementara tangan kirinya membawa
pancing di atas bahu kirinya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, si bungsu jatuh sakit. Cuaca yang
buruk mempengaruhi daya tahannya, menjadikannya rentan terhadap
penyakit; dia terserang demam dan flu. Dia melewatkan waktu berhari-hari
dengan beristirahat di rumah, sementara kakaknya terus bepergian
meninggalkannya sendirian, memancing ikan untuk mencukupi kebutuhan.
Sore itu (Karena adiknya sedang sakit, anak itu tak berani untuk
pulang malam meninggalkannya sendirian) si bungsu segera menyambut
kakaknya, ketika kakaknya sudah tiba di ambang pintu. Dengan jelas dan
pelan dia berkata, “Aku ingin menyambut Kakakku, yang lantang pulang
sendirian melewati hutan. Aku ingin belajar dari keberanian Kakakku,
yang tetap pergi mengembara, meski ular pernah hampir merenggut
nyawanya. Kakakku, apa yang membuatmu bisa mengalahkan ketakutan itu?”
Anak sulung itu mengelus rambut adiknya. “Adikku, engkau bertanya
bagaimana bisa kakakmu begitu berani melewati hutan sendirian, maka aku
tak bisa memberikan jawaban yang tepat, selain bahwa, ya selain bahwa
aku selalu menyakini bahwa daun-daun, kuncup-kuncup bunga, pohon-pohon,
tumbuhan-tumbuhan, mereka semua selalu memuji Nama-Nya,
mengagungkan-Nya, setiap saat. Lantas, bagaimana bisa kakakmu ini takut
kepada rimbunnya hutan, sedangkan mereka sama-sama memuji Dzat yang aku
puji, yang takkan pernah kulupakan dalam hati? Aku terus berjalan kaki
dengan keyakinan seperti itu hingga, dengan pertolongan-Nya, aku bisa
tiba di rumah dengan selamat. Aku selalu percaya bahwa Tuhan akan selalu
melihat apa yang kita kerjakan. Dia akan menolong setiap hamba-Nya,
ketika mereka kesusahan atau pun ketika mereka terjatuh ke dalam jurang
penderitaan, dengan rencana-rencana terbaik-Nya. Dia selalu tahu, tak
ada sesuatu yang luput dari perhatian-Nya, tak ada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya.”
Setelah adiknya menurunkan semua barang bawaan kakaknya, dia mengajaknya
untuk duduk di depan perapian. Dengan wajah malu mirip perasaan
bersalah, dia bertanya, “Apakah Kakak membenci lelaki Marathon? Andai
saja di lembah tidak ada orang itu, aku akan bisa duduk di sampingmu,
dan mungkin juga bisa menghalau hadirnya seekor ular.”
“Aku justru menyukainya, Adikku, dia telah menyelamatkan nyawaku, dengan daun di genggaman tangannya.”
Dua hari kemudian, akhirnya si bungsu sembuh; dia merayakan
kesembuhannya dengan berjingkat-jingkat sendirian, juga dengan
menyanyikan lagu-lagu dengan suara paling merdunya. Selain itu, tentu
saja, dia akan senang lagi saat bertemu dengan gadis penggembala domba,
meskipun usia gadis itu tiga tahun lebih tua darinya.
Ketika mereka tiba di sugai kelima, si bungsu mendapati lelaki
Marathon sedang berlari di atas lembah seperti biasa. Setelah dengan
mudah mendapatkan persetujuan dari kakaknya, si bungsu berlari menaiki
lereng curam ke arah lelaki Marathon. Tak lama kemudian, ketika si
bungsu baru menaiki setengah lereng, tiba-tiba terdengar teriakan keras
di bawah. Kedua orang itu segera turun untuk menghampiri sang korban.
Lelaki Marathon sibuk mencari daun.
Begitu mereka berada di dekan korban, lelaki Marathon menempelkan
daun pada luka di kaki kirinya, sambil mengatakan bahwa pancingnya telah
patah. Sebelumnya, saat merasakan gigitan ular, anak sulung itu
memukulkannya hingga patah pada binatang itu, tetapi tetap saja
berakibat sia-sia—ular itu dengan cepat berhasil kabur setelah menggigit
kakinya.
Seiring berjalannya waktu, kondisi kesehatan anak laki-laki itu
semakin memburuk. Hingga akhirnya, sebelum tiba ajalnya, adiknya
memberanikan diri untuk bertanya sekali lagi, sambil berusaha
menyembunyikan isaknya. “Aku akan selalu mencintai Kakakku, dan aku akan
selalu mendoakan untuk keselamatan dan kebahagiaanmu. Kakakku, maafkan
jika adikmu lancang bertanya, bolehkah aku memulainya (Sang kakak
mengangguk lemah). Kakakku tercinta, apakah Kakak membenci lelaki
Marathon? Andai saja di lembah tidak ada orang itu, aku akan bisa duduk
di sampingmu, dan mungkin juga bisa menghalau hadirnya seekor ular.”
Anak itu menegakkan bantal yang menopang kepalanya. “Aku justru
menyukainya, Adikku, dia telah menyelamatkan nyawaku, dengan daun di
genggaman tangannya. Adapun jika aku harus menutup mata selama-lamanya
dari dunia fana ini, itu bukan salahnya, melainkan itu sudah jadi
kehendak Tuhan. Dan kita semua tidak bisa menyalahkan Tuhan.”
Saat sepasang mata yang teduh itu menutup, sang adik menangis sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya.
Dari belakang, lelaki Marathon tiba-tiba berdehem dan, sementara bocah
itu menoleh lalu kembali berpaling ke arah kakaknya (entah datang dari
mana lelaki itu sebelumnya, menurut pikiran si bocah), mengampiri bocah
yang sedang menangis itu. Mengelus-elus rambutnya untuk beberapa saat.
Keesokan harinya, lelaki Marathon berkunjung kembali ke rumah tua
itu. Begitu mengetahui kehadirannya, si bungsu mendongakan kepalanya
dari lamunan panjang, lalu bertanya.
“Aku selalu hampir lupa untuk bertanya,” katanya pelan. “Apakah kamu berhasil memenangkan lomba kemarin?”
Lelaki itu menggeleng. Hening tercipta sangat lama—waktu seolah membeku.
Kemudian, lelaki itu menjelaskan bahwa akan ada perlombaan Marathon
lagi bulan depan untuk kategori anak-anak, Half-Marathon, dengan jarak
21 km, dan setelah itu, dia menawarkan apakah bocah itu bersedia untuk
berpartisipasi.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia mengangguk antusias. “Aku
bersedia, tapi latihlah aku, ajari aku, di lembah itu. Selama sebulan
penuh ini, aku akan siap meluangkan sebagian waktuku untuk menjalani
latihan.”
Lelaki itu berdehem. “Mulai sekarang, aku akan memanggilmu bocah Marathon.”
Hingga akhirnya, apa yang diharapkan bocah itu pun mendapatkan
secercah jawaban; setiap sore bocah itu berlari bersama lelaki Marathon
di lembah. Menunggu, tiba-tiba, menjadi hal yang paling menyenangkan;
tak hanya saat sore hari, di pagi hari bocah itu juga melatih dirinya
sendiri dengan lari-lari kecil di halaman depan rumah.
Hari yang mereka tunggu-tunggu pun tiba. Bocah itu kini tengah
berdiri di garis tengah. Berkacak pinggang menatap para peserta lainnya.
Dalam balutan kaos merah polos, bocah Marathon itu hanya perlu berlari.
Terus berlari. Saat tanda ‘start’ sudah dibunyikan, dimulailah
petualangan masing-masing peserta.
Delapan puluh lima menit kemudian, perjuangan yang sebenarnya
benar-benar tengah menghampiri; sambil tersengal-sengal tangan kanannya
mencoba menggapai kertas panjang yang membentang di garis akhir. Dua
ratus meter di depan dari tempatnya kini berlari, dia baru menyadari
bahwa seorang lelaki Negro dari Kenya muncul di sampingnya dan, seperti
anak panah liar yang baru dilepaskan, melesat jauh ke depan.
Apa pun yang mati seharusnya bisa tumbuh kembali, batin si bocah
Marathon, aku ingin menjadi juara pertama, aku ingin membahagiakan
kakakku yang telah tiada. Apa pun yang mati memang seharusnya bisa
tumbuh kembali; cita-cita lama yang telah sirna, mimpi yang terhempas ke
dasar jurang, kesempatan yang hanya tersisa seujung jari.
Dalam kekalutan serta kegugupan, ingatan tentang semua sesi latihan
justru menyeruak ke dalam pikirannya; detik-detik yang melelahkan dan
penuh rasa sakit akibat terlalu lama berlari adalah perjuangan. Hidup
tidak akan menarik lagi tanpa rasa sakit, tanpa perjuangan, batinnya,
perjuangan antara menyerah dan melanjutkan. No pain no gain, batinnya
lagi, menyemangati diri sendiri. Melanjutkan dan menyerah —keduanya
barangkali seperti hidup dan mati. Seperti para pahlawan yang berusaha
mengusir penjajah; setiap dari mereka berdiri di jembatan antara hidup
dan mati, menggantungkan nasibnya pada tumpuan kedua kakinya, kekuatan
otot tangannya, dan kekebalan arah serta jalan pikirannya. Seandainya
pijakan kaki mereka goyah sedikit lantaran lengah, atau cengkraman
tangan mereka meregang lantaran tegang, atau pikirannya melamun lantaran
linglung, mereka akan jatuh dari ketinggian jembatan menuju sungai.
Jatuh yang benar-benar jatuh. Bukan jatuhnya orang menuju sungai melalui
alam mimpi, lalu terbangun ke alam nyata di malam hari.
Tiba-tiba, seorang Negro di depannya sedikit terpeleset, pada kaki
kanannya, dia kehilangan keseimbangan. Hal itu memberikan kesempatan
bagi bocah itu untuk menyalipnya. Dia berhasil menyalipnya. Dia semakin
memperlebar lompatan kakinya dan, tak lama kemudian, tangan kanannya
berhasil menyentuh kertas panjang yang membentang itu.
Dinobatkan sebagai juara pertama Half-Marathon, bocah itu menerima
hadiah baik berupa piala berukuran sedang maupun uang tunai yang
barangkali cukup untuk memenuhi kebutuhan selama dua tahun. Dia
terkenal, tetapi kemudian seperti menghilang begitu saja.
Tiba di rumah dengan perasaan bangga, si bocah itu segera menaruh
pialanya di atas almari milik kakaknya. Lelaki Marathon minta diri sebab
dia tahu diri; malam yang telah larut, capek luar biasa, membuat kedua
mata bocah itu tak sanggup untuk menahan kantuk lagi. Dalam mimpinya,
dia melihat kakaknya, dengan memakai pakaian putih bersih menutupi
seluruh tubuh kecuali wajah, sedang tersenyum kepadanya.
Sebelum mereka berpisah, si bungsu bertanya, “Kakakku tercinta,
maafkanlah karena aku hanya mempunyai pertanyaan yang selalu sama,
apakah Kakak membenci lelaki Marathon? Andai saja di lembah benar-benar
tidak ada orang itu, aku akan bisa duduk di sampingmu, dan mungkin juga
bisa menghalau hadirnya seekor ular.”
Si sulung tersenyum, menggelengkan kepalanya. “Aku justru menyukainya,
Adikku, dia telah menyelamatkan nyawaku, dengan daun di genggaman
tangannya.”
Tiba-tiba, dari belakang, lelaki Marathon datang untuk mendekat ke
tempat bocah itu berdiri, lalu mengelus rambutnya. Mereka semua terdiam.
Sesaat kemudian, dari balik punggungnya, si sulung mengeluarkan sebuah
pancing, menimbang-nimbangnya di depan mereka, dan memberikannya kepada
lelaki Marathon, yang segera berjalan ke depan untuk menerimanya dengan
takzim, seolah merasa diberikan tugas besar dari bupati atau presiden.
Beberapa menit kemudian, dia terbangun dari mimpi dengan perasaan
bahagia luar biasa, lalu bergegas mencuci muka, dan berjalan pelan ke
arah pintu depan untuk menyapu daun-daun yang berserakan di halaman
depan rumah. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat jantungnya
berdebar; lelaki Marathon tengah berdiri di samping pohon, wajahnya
bercahaya, sorot matanya tajam seperti biasa, dengan kedua tangan yang
disembunyikan di dalam saku celana samping.
“Semalam aku bermimpi tentangmu, juga tentang kakakku,” ujar si bocah
pelan dan jelas, berusaha menutupi kekagetannya. “Dan kakakku dengan
jelas memberikanmu pancing. Itu tandanya—“
“Tenang saja, aku bersedia untuk tinggal bersamamu dan—“
“dan kamu harus bersedia memancing ikan di sungai bersamaku, menggantikan kakakku.”
Lelaki Marathon mengangguk, lalu berjalan menghampirinya, dan mengelus rambutnya.
Bocah itu sangat senang sekali.
“Satu hal yang ingin kuketahui,” ujarnya, menatap lawan bicaranya tajam,
“adalah tentang keberadaanmu selama ini. Kamu seakan dekat denganku,
kehadiranmu yang tiba-tiba seringkali mengejutkanku. Di mana sebenarnya
tempatmu bersembunyi?”
Lelaki Marathon hanya tersenyum, sambil mengelus rambut lebat bocah itu
sekali lagi. “Itu adalah satu hal yang patut kamu ketahui. Sejak
kematian kakakmu, aku selalu berada di dekatmu, selalu mengawasi rumahmu
dari jarak dekat kalau-kalau bahaya datang mengancammu. Kini aku
tinggal di pondok kecil di pohon besar, atau lebih tepatnya di rumah
pohon. Pondok itu terletak di belakang rumahmu, berjarak sepuluh meter
dari rumahmu. Aku membuat rumah itu, pada saat malam hari, saat kamu
sudah tertidur lelap. Lenteranya redup, tak cukup terang, saat malam.
Saat ini aku hanya punya satu rencana, yaitu mengajakmu untuk datang
bersamaku melihat rumah itu, sekarang. Jadi, apakah kamu bersedia?”
Si bocah itu tersenyum kepadanya, lalu berkata. “Jika kamu menyukainya,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar